13

57 21 0
                                    

"Kita berpisah di sini!", Tuan Win Feng berlalu sambil berteriak.

Kuda tunggangannya berlari meninggalkan Panca dan Asih yang naik pedati walau hanya ditarik seekor sapi. Bagi Tuan Win Feng, pedati itu terlampau lambat. Meskipun mereka sama-sama kembali menuju Batavia, tapi keperluan mereka kali ini berbeda. Asih dan Panca kembali karena mereka tidak mungkin meneruskan perjalanan pulang dengan pedati ditarik seekor sapi, sedangkan Tuan Win Feng bergegas pulang karena dia harus segera menemui anak dan istrinya.

Tuk tak tuk tak!

Telapak kaki kuda beradu dengan jalanan tanah yang berdebu. Terik mentari tidak menjadi halangan bagi laki-laki itu untuk memacu kudanya dengan cepat. Tapi, apakah si kuda rela berlari di bawah panas terik mentari, Tuan Win Feng tidak peduli.

Setelah beberapa saat,  kuda tunggangan Tuan Win Feng sampai di jalanan ibu kota yang masih ramai. Kuda dan sapi bahkan kerbau hilir mudik menarik barang atau manusia pemiliknya.

Bagi pria Cina itu, keadaan ini memperlambat laju kudanya. Padahal dia harus segera sampai di rumah. Kemudian memastikan anak dan istrinya dalam keadaan baik-baik saja.

Untuk menghemat waktu, Tuan Win Feng terpaksa menggunakan jalan lain. Dia menuju jembatan yang memisahkan blok Pecinan dengan kawasan pergudangan milik pengusaha Eropa. Meskipun harus berputar agak jauh, tapi jalanan itu cenderung sepi. Kegiatan bongkar muat sudah selesai sejak tadi pagi.

Dengan menunggang kuda yang berlari kencang, hanya membutuhkan waktu sebentar untuk sampai di sebuah rumah bergaya Cina. Rumahnya sederhana saja, tetapi bangunan di sekitarnya menandakan jika itu dikhususkan bagi orang-orang Cina perantauan.

"Tuan Win Feng! Ada yang mencarimu!" seorang kuli panggul memberitahu laki-laki itu padahal dia pun belum turun dari kudanya.

"Siapa?"

"Orang-orang berpakaian rapi, aku tidak tahu siapa mereka!"

Deg, Tuan Win Feng merasakan sesuatu yang lebih menegangkan. Dia merasa bersalah ketika membiarkan keluarganya harus berurusan dengan orang-orang selain golongan mereka sendiri. Dia tahu, pekerjaan sungguh beresiko dan tidak mau melibatkan orang di sekelilingnya.

Dengan langkah tegap, dia berjalan menuju pintu rumah.

Pintu itu sudah terbuka, tampak banyak orang di dalamnya. Dan, Tuan Win Feng semakin dibuat tidak nyaman dengan kehadiran mereka.

"Selamat datang, Tuan Win Feng. Darimana saja kau? Tadi aku ke rumahmu, tapi ... kau tidak ada di sana. Makanya aku datang ke rumah mertuamu."

Seseorang berwajah Eropa menyambut laki-laki itu dengan tangan terbuka. Dia tersenyum penuh dengan kehangatan. Kumis tipis nampak merekah diantara sigaret yang tertanam di bibirnya.

Tapi, hanya dia yang tersenyum.

Sedangkan istri Tuan Win Feng serta kedua mertuanya terlihat gugup, mereka nampak ketakutan. Apa yang telah mereka katakan pada anak dan istriku?

"Tuan, marilah kita bicarakan hal ini berdua saja ...," Tuan Win Feng tersenyum sambil mendekati pria berambut pirang yang sedang duduk di kursi tamu.

"Oh, tentu saja. Kalau urusan kita berjalan lancar, maka seharusnya kita  berdua saja yang membicarakan ini."

Pria berjas cokelat itu bicara dengan nada yang terdengar sopan. Tapi, gelagat mereka jelas bukan bentuk kesopanan. Di belakang pria itu, ada 6 orang laki-laki bersenjata laras panjang. Bagi seorang Win Feng, itu hal lumrah. Tapi tidak begitu dengan istri dan kedua mertuanya. Mereka jelas ketakutan jika berurusan dengan orang-orang bersenjata. Apalagi pimpinan mereka seorang Eropa yang nampak memiliki pengaruh.

Tuan Win Feng memberikan isyarat agar anggota keluarganya beranjak dari tempat duduk. Dia ingin membicarakan masalahnya hanya dengan orang di hadapannya.

"Tuan, maaf jika ...."

"Aku tak mau mendengar alasan, pesanan itu harus datang hari ini juga."

"Tapi, ada sedikit masalah. Ada yang berkhianat ...."

"Aku tak mau tahu."

"Oh, Tuan. Tolong mengertilah."

"Tuan Win Feng, kau tahu resiko pekerjaan ini. Dan, ingat ... aku tidak memaksamu untuk bekerjasama dengan kami. Kau menyetujui semua syaratnya."

Pria berambut pirang itu berdiri. Gayanya sungguh kaku, dia tidak suka basa-basi. Ketika urusannya dirasa selesai, dia langsung bermaksud meninggalkan ruangan itu.

"Aku beri waktu kau untuk menyerahkan pesananku ... malam ini juga. Tepat tengah malam."

"Sepertinya ...."

"Atau, keluargamu menjadi jaminannya."

Deg, dugaan Tuan Win Feng benar. Keluarganya memang dalam bahaya. Orang itu mengancamnya jika apa yang dipesan tidak bisa tersampaikan.

"Tuan, benda itu tidak ada di tangan saya. Koswara sudah mencurinya."

"Koswara? Bukankah kalian bekerjasama?"

"Dia mengkhianati saya."

"Bagaimana bisa?"

"Dia mencuri sapi yang sebenarnya kemudian menukarnya dengan sapi yang lain. Jadi, saya pun bingung harus mencarinya ke mana."

Pria berambut pirang itu berjalan ke arah pintu. Kemudian mereka ke luar dari rumah. Bermaksud bernegosiasi, Tuan Win Feng memohon untuk memberikan waktu lebih lama. Tapi, orang di hadapannya tidak memberikan waktu lebih lama lagi. Dia membuang puntung sigaret ke dalam selokan.

Kereta kuda sudah bersiap untuk pergi. Kendaraan itu sudah berhenti di depan pintu gerbang rumah bergaya Cina itu. Kusirnya sengaja menghentikan sepasang kuda penarik kereta tepat di depan pintu agar calon penumpangnya bisa dengan mudah naik tanpa harus berjalan lebih jauh.

"Tuan, Tuan!" seorang lelaki tiba-tiba menghampiri dengan berlari, "rumah jagal ...."

"Rumah jagal? Kenapa dengan rumah jagalku?"

"Polisi mendatangi rumah jagal. Mereka menanyakanmu."

"Ah, ada apa lagi?"

"Mereka ... menuduh kita menyembelih hewan curian."

Tuan Win Feng semakin merasa benda berat menimpa kepalanya. Masalah yang satu belum selesai, datang lagi masalah baru.

"Tuan, lihatlah. Polisi mulai menyelidikiku."

Tuan Win Feng nampak merajuk pada  Si Rambut Pirang. Pria itu tidak jadi menaiki tangga kereta. Dia menoleh ke arah orang yang baru datang. Kemudian mengarahkan pandangannya ke Tuan Win Feng.

"Polisi, biar menjadi urusanku. Kau urus saja apa yang menjadi pesananku."

"Baiklah, aku percaya padamu."

"Tapi, jika kau tidak bisa memenuhi pesananku ... rumah jagal milikmu ... besok lusa bisa jadi bukan lagi milikmu. Pemerintah bisa mencabut izin usahanya."

Ini ancaman serius bagi Tuan Win Feng. Pria Cina itu tidak berani lagi untuk banyak bicara.

Panca dan Prahara Rumah JagalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang