31

31 15 0
                                    

Nyonya Win Feng berjalan masuk ke dapur. Tangan kanannya meraih lampu yang menempel di dinding. Dinyalakannya juga lampu yang terletak di meja. Dengan api yang menyala di lampu minyak, tungku di dapur dinyalakan bersama kayu bakar yang menumpuk di sudut ruangan.

"Oh, ternyata kau sudah bangun."

"Aku tidak bisa tidur, Bu. Semalam anakku menangis terus. Mungkin dia juga sama-sama mengkhawatirkan ayahnya."

"Sebentar lagi subuh, tapi kenapa suamimu belum juga pulang," wanita tua pemilik rumah berjalan ke arah jendela.

"Apakah kita harus mencarinya, Bu?"

"Jangan dulu, kita tunggu hari terang. Jangan sampai kegelapan malah membawa malapetaka bagi kita."

Wanita tua itu membuka jendela. Udara dingin masuk ke ruangan bertukar dengan asap panas yang dihasilkan tungku berdiri dimana Nyonya Win Feng berdiri di dekatnya. Mereka berdua menatap ke luar jendela, bersama-sama memusatkan perhatian pada sesuatu atau lebih tepatnya pada seseorang. Seseorang yang semalaman duduk di atap bangunan berhiaskan kepala naga.

"Orang itu masih belum beranjak dari  sana," ibu Nyonya Win Feng bisa mengobati rasa penasaran sebagai salah satu alasan membuka jendela; selain untuk memberi jalan asap mencari tempat yang lebih luas.

"Dia masih duduk di tubuh si naga."

"Berarti kita masih belum bisa ke mana-mana. Harus bersabar menunggu hari terang."

"Bagaimana kalau ...."

"Percaya padaku. Orang itu akan pergi ketika hari terang. Sungguh kelakuan mencurigakan berdiri di sana sepanjang malam."

Nyonya Win Feng menuangkan air ke dalam teko kemudian meletakannya di tungku. Tak ada hal lain selain menunggu air matang. Wanita beranak tunggal itu setuju dengan pendapat ibunya. Dia harus bersabar untuk menunggu orang yang mengawasinya pergi menjauh.

Ibu dan anak berdarah Cina itu hanya  bisa duduk di bangku yang mengitari meja. Sembari menunggu fajar menyingsing, keduanya hanya bisa menatap langit yang masih gelap melalui jendela.

Batavia belum diterangi oleh matahari. Namun, suara-suara mulai terdengar meminta matahari untuk segera menerangi. Mereka ke luar rumah dengan perasaan was-was tetapi terdorong oleh kebutuhan. Menjadi rahasia umum jika Batavia kala malam bisa membawa malapetaka karena penjahat merajarela. Dan, saat itu malam belum sampai di ujungnya.

Dari ujung kampung, terdengar suara denting logam dipalu. Rumah orang tua Nyonya Win Feng dekat dengan rumah seorang pandai besi. Mereka bekerja sejak dini hari ketika udara kota belum terlalu panas. Bagi manusia penyuka keheningan, Pecinan bukan tempat yang cocok untuk ditinggali. Setengah malam di sana kebisingannya hampir sama dengan siangnya.

Bagi Nyonya Win Feng, kebisingan itu pertanda baik. Pertanda jika hari akan menjelang dan rezeki segera datang.

Namun, apakah nasib baik juga menyertai suaminya?

Pikiran Nyonya Win Feng melayang pada sesuatu yang mungkin saja terjadi pada suaminya. Ditangkap oleh polisi karena tuduhan yang belum terbukti atau terlibat dalam urusan yang lebih rumit dengan komplotan yang kemarin datang ke rumah itu.

"Aku memikirkan nasib suamimu," wanita tua di depan Nyonya Win Feng memasang wajah kesedihan.

"Sama, aku berpikir begitu."

"Aku harap dia sudah ada di sini sebelum siang menjelang. Dia harus bisa menjelaskan perkara apa yang membelitnya sehingga harus dikejar-kejar polisi."

"Kalau ditangkap polisi, ada kesempatan untuk melakukan pembelaan. Tapi, kalau komplotan itu berbuat nekat padanya ...."

"Ibu yakin suamimu tidak akan disingkirkan begitu saja. Dia berguna bagi banyak orang."

"Mungkinkah suamiku dimanfaatkan oleh orang-orang itu?"

"Mungkin sekali. Mungkin dia hanya jadi seseorang yang ditumbalkan untuk perkara yang lebih besar."

Mereka berdua saling tatap. Tangan wanita tua itu memegang tangan anaknya. Mereka saling menguatkan satu sama lain.

Ngingggg, teko berderit sebagai pertanda uapnya terdesak ke luar. Air sudah matang.

Nyonya Win Feng beranjak dari bangku kemudian mengangkat teko panas dari tungku. Dia menuangkan air panas ke dalam cangkir yang telah diisi teh kering. Uap panas mengepul pertanda kehangatan.

Kehangatan pula yang menghiasi Pecinan kala itu. Hangat karena suasana semakin riuh rendah oleh manusia yang bekerja. Hangat pula oleh fajar yang terlihat merona di ufuk Timur. Cahayanya masuk ke sela-sela bangunan sehingga membentuk siluet berhiaskan semburat jingga di belakangnya.

Kepala naga di bangunan seberang jalan kini berbentuk utuh. Tidak ada lagi siluet manusia yang menungganginya. Dua wanita yang sedang menikmati teh hangat itu pun menyadarinya ketika mata mereka sama-sama menatap ke arah yang sama.

Orang itu pergi setelah semalaman mengawasi. 

Panca dan Prahara Rumah JagalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang