Panca bersama 9 orang lainnya mendayung perahu dengan kecepatan penuh. Mereka segera pergi meninggalkan 2 kapal uap di belakangnya. Juga, meninggalkan Asih, Tuan Win Feng dan 5 orang lainnya tanpa tahu bagaimana nasib mereka.
"Raden, kita ke mana?"
"Segera menjauh dari kejaran kapal patroli," Panca menegaskan tujuan perahu melaju.
"Kita menjauh dari daratan?"
"Untuk sementara, terlalu mudah mereka menangkap kita bersama seekor sapi."
Regu pendayung terus mendayung dengan kecepatan penuh. Meskipun, kali ini mereka tahu jika ada seorang anggota baru, Panca. Anak remaja itu belum pernah mendayung perahu di lautan. Apalagi mendayung bersama regu pendayung yang sudah terlatih.
Membutuhkan waktu beberapa saat bagi Panca untuk menyesuaikan diri. Kayuhan seseorang yang baru belajar, terasa berbeda dengan orang yang sudah terbiasa.
"Raden, kapal patroli itu mengejar kita!"
Panca menengok ke belakang. Tidak terlihat jelas bentuknya, tapi teriakan klakson kendaraan laut itu terdengar cukup jelas. Tooottt!
Panca mendongakan wajahnya ke langit. Masih gelap, tidak terlihat bintang sebagai penunjuk arah. Rembulan pun tertutup awan.
"Paman, masih jauhkah pulau terdekat di sini?"
"Masih jauh, Raden."
"Kita bersembunyi di pulau kecil terdekat."
Regu pendayung tahu ke arah mana mereka melaju. Dengan semangat yang ditambah rasa takut, mereka menggerakan tangan tanpa banyak bicara lagi.
Beberapa saat mereka sanggup mendayung untuk menjauh dari kejaran kapal patroli. Tapi, itu tidak berlangsung lama.
"Kapal patroli semakin mendekat, Raden."
Panca menengok ke belakang. Sial, mau sampai kapan aku harus mendayung?
"Baiklah, kita pasang layar!"
"Tapi, layar bisa membawa kita semakin menjauh dari daratan ... bahkan ke tengah lautan."
"Kita menjauh dulu dari kejaran kapal patroli, jangan sampai kecepatan mereka mengalahkan kita."
"Baik, Raden."
Dengan cekatan, seorang anggota komplotan membuka tali layar kemudian mengembangkan layarnya.
Layar yang terbuat dari kain khusus dengan tenunan yang kasar. Jika diangkat, kain layar ini begitu berat. Tapi, itu cukup kuat untuk menahan angin dan membantunya mendorong perahu.Dan, layar pun terkembang.
Angin berhembus dari daratan menjauh menuju laut lepas. Arah angin membantu mereka yang duduk di perahu untuk menjauh.
Sapi yang sedari tadi meronta-ronta, kini melenguh. Hewan itu lebih tenang. Mungkin karena tidak terdengar lagi suara tembakan apalagi teriakan. Dia hanya mendengar deru angin diantara riak gelombang.
"Ini lebih cepat dari sebelumnya," Panca memberikan kesimpulan.
"Namun, kapal patroli masih mengejar."
"Kita lihat saja, apakah mereka sanggup mengejar kita atau tidak."
Panca mendongak ke langit. Awan tersibak dan memperlihatkan rembulan dengan separuh cahayanya. Laut terlihat lebih terang. Cahaya memantul di permukaan air bersatu dengan riak gelombang Laut Jawa.
"Mari pancing mereka untuk mengejar kita. Saya yakin, mereka tidak akan berani mengejar lebih jauh karena persediaan bahan bakar terbatas."
Panca berdiri di tepi perahu. Dia mengarahkan pandangan ke daratan yang membentang. Titik-titik cahaya berjejer penanda sebuah kehidupan kota yang masih menunggu malam berganti siangnya.
Dan, di kala matahari muncul nanti maka titik cahaya itu akan berubah menjadi deretan bangunan-bangunan kokoh seperti gudang dan benteng pertahanan kota. Pelabuhan Batavia hanya bahagian kecil saja dari denyut kehidupan ibu kota Hindia Belanda yang masih berkembang.
"Bagaimana dengan yang lainnya, Raden?"
"Itu pula yang sedang kupikirkan, Paman. Semoga mereka dalam keadaan baik-baik saja."
Sinar rembulan menjadi saksi bagaimana sekelompok manusia berjuang mendapatkan apa yang diinginkan. Mereka mencari keuntungan dari sekian banyak kerugian yang mendera. Manusia-manusia yang berlayar di lautan yang tenang ketika pikiran dan perasaan mereka belum merasa tenang.
Dengan keyakinan yang bulat, Panca bisa mengambil alih pimpinan kelompok itu. Diantara mereka belum saling kenal. Baru beberapa jam yang lalu mereka bertemu. Tetapi, kepercayaan orang-orang itu pada kemampuan seorang anak remaja bisa membuat semuanya bisa dikendalikan.
Di zaman itu, seorang remaja memimpin sekelompok orang dewasa menjadi hal yang lumrah adanya. Hanya saja, ada syarat yang harus melekat pada anak remaja itu. Dia pintar dan seorang priyayi. Golongan priyayi yang dianggap berhak menjadi pemimpin walaupun memimpin sekomplotan perampok berjenggot lebat.
Ketenangan, itulah yang mereka harapkan dan mereka dapatkan. Teduhnya lautan membawa mereka pada keteduhan jiwa. Terbiasa menerima takdir yang ketir, bisa melepas lelah barang sejenak seakan mendapatkan berkah tak terperikan.
"Raden, di depan ada pulau!"
Panca membalikan badan. Nampak di pelupuk matanya hamparan daratan tanpa penerangan sedikit pun. Hanya hitam karena lebatnya pepohonan.
Perahu pun bersandar di pasir pantai ketika layar digulung. Penumpang perahu itu turun, begitupula si sapi yang terlihat kelelahan.
"Kita berkemah di sini," Panca memberi perintah, "tapi kita sembunyikan terlebih dahulu perahu ini."
"Baik, Raden."
Mereka yang masih punya tenaga, mendorong perahu hingga masuk ke daratan. Mendekat hingga di bawah rimbunnya pohon kelapa.
Sepi, begitulah kesan pertama yang terasa ketika mendapati pulau tanpa penghuni itu. Sungguh tempat yang cocok untuk menjadi markas perompak.
"Raden, akan kita apakan sapi ini?"
"Kita menunggu yang lain ...."
"Tapi, mereka belum tentu kembali, Raden."
"Paman, saya yakin mereka masih hidup."
"Raden, kenapa kita harus mempedulikan mereka ...."
"Paman, kita tunggu mereka sampai besok pagi."
"Jika mereka belum datang juga?"
"Kita lihat saja besok, berbagai kemungkinan bisa saja terjadi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Prahara Rumah Jagal
ActionSleeerrrr .... Darah mengalir dari tenggorokan. Tidak, bukan hanya mengalir. Darah itu muncrat ke berbagai arah. Membasahi orang di depannya, membasahi lantai bahkan melumuri golok di tangannya yang besar. Orang itu tidak pernah tega dengan korbann...