57

26 13 0
                                    

Dia terbangun dari tidurnya ketika merasakan bumi bergoyang. Ada apa ini?

Laki-laki itu ingin sekali berlari menyelamatkan diri ketika menyadari ada gempa bumi. Sayang, seutas tali masih mengikat tangan dan kakinya. Dia kesulitan berdiri apalagi berlari. Ditambah, tali itu terikat ke sebuah tiang sehingga menahan dirinya untuk bebas bergerak.

Tembok dinding pun terlihat bergoyang. Retakan timbul di dinding sehingga mengeluarkan suara menakutkan.

Trraakkk!

Ketika wajah menengadah ke langit-langit, dia semakin khawatir atap akan rubuh kemudian menimpa tubuh. Tubuhnya yang tak berdaya karena terikat.

Namun, tidak lama kemudian tanah berhenti bergoyang. Gempa itu hanya sebentar.

Ah, berhenti juga gempanya, batin laki-laki kini merasa lebih lega. Perasaan takut yang datang kini hilang.

Laki-laki itu duduk di lantai. Merunduk, merenungi nasib. Masih dengan ketidakberdayaannya, dia memejamkan matanya. Membayangkan banyak hal. Tentu saja hal-hal yang indah jika bisa terbebas dari belenggu yang menyusahkannya.

"Hei, ternyata kau masih hidup," seseorang datang sambil mengajaknya bicara.

Laki-laki yang terikat tali itu malah tersenyum ketus.

"Seharusnya kau bersyukur, gedung ini tidak ambruk dan menimpa tubuhmu."

Orang yang datang itu diikuti oleh lebih dari sepuluh pengawal. Tubuh mereka tampak seragam. Terlebih, pakaian mereka seragam. Dengan baju dan celana warna hitam, topi laken hitam serta sepatu lars hitam. Di pinggang mereka terselip pedang panjang. Sebuah senapan tergantung di bahu. Mereka bukan polisi atau tentara, tetapi perlengkapannya cukup untuk mengimbangi petugas keamanan negara.

"Tuan Anthony, justru saya menyesal karena tidak mati," dengan wajah sendu laki-laki yang terikat tali itu seakan kehilangan harapan.

"Oh, kau jangan mati dulu. Ada pekerjaan untukmu."

Sebatang sigaret dikeluarkan Tuan Anthony dari saku. Pemantik menyalakan ujung sigaret kemudian asap mengepul menyebar ke seluruh ruangan. Ketika laki-laki itu menghembuskan asap dari mulutnya, begitu tampak kesombongan dari wajahnya.

"O ya, siapa namamu?"

"Apa gunanya Tuan tahu nama saya."

"Tentu saja aku harus tahu. Bila suatu saat kau mati, aku tahu harus menulis apa di batu nisan pemakamanmu."

"Saya ragu jika anda akan mengubur saya. Mungkin sekali anda akan membuang mayat saya ke sungai."

"Ah, anggap saja aku berbaik hati padamu."

"Sebut saja saya Si Tinggi Besar. Begitulah Tuan Win Feng suka memanggil saya."

"Oh, nama yang cocok. Sesuai dengan tubuhmu."

Tuan Anthony berjalan mondar-mandir. Sesekali dia menengadah, memikirkan banyak hal. Dalam kepalanya terbersit banyak sekali rencana. Sampai-sampai dia bingung harus membicarakan rencana yang mana.

Si Tinggi Besar hanya memperhatikan Tuan Anthony berjalan mondar-mandir. Memperhatikan bagaimana seorang pria kaya berlagak di depan seorang tawanan yang tak berdaya; sungguh membuat siapa pun akan benci pada kesombongan yang semakin jelas terlihat.

"Hei Tinggi Besar, sudah berapa lama kau bekerja pada Tuan Win Feng?"

"Mungkin ... ada sekitar 5 tahun. Memangnya kenapa, Tuan?"

"Aku harus tahu seberapa lama kau bekerja dengan majikanmu. Agar ... aku tahu seberapa setiakah kau dengannya."

"Tuan, anda sendiri tahu jika saya masih setia pada Tuan Win Feng."

"Ya, aku tahu. Buktinya kau masih mengijinkan dia bersembunyi di rumah jagal ini."

Tuan Anthony kembali mengisap sigaret. Kepulan asap kembali menyebar di ruangan yang bau karena kotoran ternak itu. Sungguh sebuah tempat yang tidak nyaman untuk berlama-lama. Pria Eropa itu ingin segera mengakhiri kunjungannya. Dia mendekati Si Tinggi Besar kemudian berjongkok.

"Aku akan melepaskanmu, tapi dengan satu syarat."

"Apa itu?"

"Kau selesaikan dulu sebuah pekerjaan untukku."

"Pekerjaan apa?"

"Nanti malam, akan datang lagi kapal pengangkut sapi yang akan membawa  sesuatu di perutnya."

"Oh, saya mengerti."

Tuan Anthony membuka telapak tangan demi meminta sebuah pisau. Seorang pengawalnya meminjamkan sebuah pisau. Pisau belati dengan gagang logam berukir. 

Sebilah pisau mengkilap ketika terpapar sinar matahari. Si Tinggi Besar terpejam, tapi bukan karena silaunya cahaya. Dia terpejam ketika pisau itu mendekati batang lehernya. Sangat dekat. Hampir menyentuh kulit.

"Jika kau tidak bisa menyelesaikan pekerjaan itu ... maka pisau ini akan menggorok lehermu."

"Tuan, kenapa harus saya yang mengerjakannya? Apakah tidak ada orang lain ...."

"Jadi, kau tidak mau. Baiklah, aku akan menggorok lehermu ...."

"Jangan, jangan, Tuan. Saya bersedia."

Tuan Anthony menjauhkan pisau belati dari leher Si Tinggi Besar. Dia berdiri kemudian berjalan menjauh. Laki-laki itu menuju ke pintu bermaksud meninggalkan Si Tinggi Besar.

"Ingat, anak buahku ada di mana-mana. Jika kau mencoba mengacaukan rencanaku ... maka bukan hanya kau yang akan mati. Tapi, keluargamu juga tidak akan selamat. Bahkan, bila perlu semua orang Cina di Batavia kulenyapkan ...."

Panca dan Prahara Rumah JagalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang