45

21 2 0
                                    

Bugh!

Bugh!

Bugh!

Gadis itu mendapati balok dan memukuli tubuh preman itu hingga para preman itu kabur dari sana.

Dirga membuang napas kasar, napasnya memburu lalu menatap tajam gadis itu.

"Dirga, wajah ka--"

"Gak usah nyentuh gue, bitch! " Potong Dirga sebelum tangan mungil gadis itu menyentuh rahangnya.

"Tapi wajah kamu luka, ak--"

"BACOT LO VIOLET! BISA DIEM GAK SIH!!" Bentak Dirga.

Benar, gadis itu adalah Violet. Dirga pun heran kenapa bisa perempuan sepertinya keluar dimalam-malam begini.

Awalnya Dirga tak ingin membantunya tapi karena rasa kemanusiaan ia pun turun juga.

Dirga terlihat mengeluarkan ponselnya dan mengotak-atiknya.

"Gue udah mesenin lo taxi, lo tunggu aja disini."

Setelah mengatakan itu Dirga pun berlalu dari sana mendekati motornya lalu melenggang pergi tanpa menengok sedikitpun pada Violet.

Violet mengulum senyum tipis lalu melempar balok yang sedari tadi ia genggam itu dengan asal.
••

Dirga menceritakan kejadian yang semalam itu pada teman-temannya. Mereka tengah berkumpul di caffe dan bercanda ria disana.

"Kok gue rada curiga ya, dia cewek loh. Kenapa keluar malem-malem begitu. Kita semalem tuh kelar jam jam satu-an kan ya?" Respon Deon yang diangguki Jaff, "Iya. Jam satu malam."

"Namanya juga bitch. Pulang open bo lah dia." Timpal Sera blak-blakan.

Olif mengernyit bingung, " Open bo itu apa Se?" Tanyanya.

Sera menggaruk kepalanya, "Itu--"

"Jual diri Lif." Potong Deon membuat mereka membelalakan mata.

Gino langsung saja melemparnya dengan benda yang ada disana membuat lelaki itu terkekeh, daripada berbelit-belit lebih baik langsung beritahu saja yakan.

Sedangkan Olif sudah menahan malu akibat kepolosan-ralat, kebodohannya itu.

"Babe, yuk kita pulang. Tadi kan aku izin sama bunda cuma main bentaran doang." Ajak Jaff lalu bangkit berdiri.

Deon mencebik, "Sementang udah diizinin sama camer jadi bucin gak tau tempat lo ya setan!" Ucapnya.

Jaff hanya tak memandangnya dan berlagak seolah tak ada suara dan tak ada rupa disana membuat Deon mendengus sebal. "Si anjing!" Umpatnya.

Ale pun berpamitan singkat pada Olif dan yang lainnya lalu keluar caffe bersama Jaff.

"Dirga gue nebeng lo ya." Seru Sera.

"Gak bisa. Gue ada urusan." Balas Dirga singkat lalu beranjak dari sana.

Memang benar kata orang-orang. Jika satu orang pulang lebih dulu maka yang lainnya akan mengikut.

"Aaa, Juna. Gue nebeng ya." Lanjut Sera dengan wajah centilnya.

Sementara Arjuna hanya memandangnya sekilas lalu menggeleng, gadis itu berdecak tak mungkin ia meminta pada Gino karena sudah jelas-jelas Gino akan mengantarkan Olif pulang.

"Nah, Deo--"

"Lo naik taxi aja, jingan. Jok motor gue anti cewek cabe." Potong Deon.

Sera mencebik kesal lalu mengutak-atik ponselnya, memesan ojol.

"Awas kalian ya kalo gue udah gak cabe, kalian bakal pengen jadi temen gue!" Sera berucap seraya berdiri dan berlalu dari sana.

Deon menyeruput jusnya tanpa menghiraukan ucapan Sera.

Sementara disisi lain, Dirga. Lelaki itu tengah mengendarai motornya menuju markas Morir, sendirian. Nekat emang si Dirga.

Ia sangat penasaran tentang prempuan berambut pirang yang diciri-cirikan oleh anggotanya saat itu.

Dirga memberhentikan motornya didekat pohon besar sebelum markas Morir dan mengintip dari sana. Terlihat seorang perempuan memakai masker dan kacamata yang baru keluar dari markas Morir.

Benar, rambut perempuan itu pirang. Kuning kecoklatan gitu gess.

Siapa? Pikirnya. Ia tak pernah melihat Allan memiliki teman perempuan.

Setelah puas menatap ciri-ciri perempuan itu, Dirga pun menaiki motornya dan berlalu dari sana. Sementara perempuan pirang itu yang memang sudah tau akan kehadiran Dirga pun membalikan badannya, membuka maskernya lalu tersenyum miring.

"Penasaran banget lo sama gue, Dirga." Gumamnya.
••

Malam semakin larut dan Dirga tengah duduk diatas pembatas pagar balkon rumahnya, ia masih ingat dengan jelas ciri-ciri perempuan itu. Walaupun ia tak tau wajahnya.

Terlintas satu nama di kepalanya, ia berniat akan melakukan sesuatu pada gadis yang kini jadi incarannya.

Kalau jika memang benar ia orangnya, maka bersiaplah Dirga akan segera menghancurkannya.

"BANG!"

Pekikan seorang lelaki berbeda umur dengannya membuat Dirga terlonjak, untungnya tak jatuh kebawah, kan.

Rafa bergerak mendekati sang kakak, "Lo ngapa ngelamun?" Tanyanya.

"Bukan urusan lo." Balas Dirga. "Mending lo masuk kamar terus belajar, bentar lagi lo Ujian. " Lanjutnya.

"Capek banget gue Bang belajar mulu, mumet ni otak bisa-bisa meledak."

"Jangan bebal."

Rafa berdecak namun tak urung ia mengikuti perintah sang kakak.

Sementara Amel yang memang memandang interaksi kedua anaknya itu tersenyum tipis, Dirga memang kasar tapi ia perhatian pada orang-orang terdekatnya.

"Dirga , kenapa kamu belum tidur?" Tanya Amel mendekati anak pertamanya itu.

"Belum ngantuk Mah." Jawabnya.

Amel mengusap lembut bahu anak bujangnya itu, "Oma jatuh sakit Dir, dan dia pengen banget cucu-cucunya kumpul di Jogja." Ujar Amel.

Dirga membuang wajahnya kesamping, "Kapan?" Tanyanya.

"Lusa, kita berangkat."

"Mamah, Papah sama Rafa aja. Aku enggak bisa. Ada urusan." Balas Dirga, "Aku masuk kamar dulu." Lanjutnya berpamitan pada Amel dan berlalu menuju kamarnya.

Amel tersenyum masam, ia tau alasan anaknya itu enggan pulang ke Jogja. Pasti karena gadis itu, Viona. Ia pun maklum, perihal warisan yang membuat Dirga merasa seperti itu.

Dikamarnya Dirga memandangi wajah seorang gadis dengan pandangan datar. Lalu menelfon Arjuna.

Hingga sambungan pun terhubung, "Gue curiga sama dia. "

"Let's play the game?"

"Yes. "

Setelah itu lelaki itupun mematikan telfonnya dan tersenyum tipis.

Tbc...

Dirgantara ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang