12. Weird Heartbeat

13K 1.3K 30
                                    

"Terima kasih ibu guru!" Ucap para murid kelas lima dengan kompak dan semangat. Sebelum akhirnya mereka berhamburan keluar kelas.

Ini jam terakhir. Rasanya sangat lelah dan mengantuk karena mengajar di jam dua siang. Seperti para murid, Ola juga tambah semangat mendekati jam pulang.

Setelah memastikan kelas sudah kosong, gadis itu baru beranjak. Ia melangkah menuju ruang guru yang sebagian penghuninya juga sudah pulang karena jam mengajarnya cepat selesai.

"Bu Ola," panggil Pak Jono. Rekan yang hari ini mulai masuk kerja lagi setelah empat hari izin untuk menemani istrinya.

Malam dimana Ola berbagi lampu bersama Javas juga berlalu begitu cepat. Kalau diingat betapa kesalnya ia setelah listrik akhirnya menyala. Ia yang kelaparan sampai minta makan dengan lelaki tersebut.

Malam itu Ola diberi mie kuning, bukan mie instan. Juga sekaleng kecil kornet yang sampai sekarang semua masih tersimpan di kulkas. Pasalnya gadis itu tidak tahu cara mengolah mie selain mie instan. Jadi begitulah, Ola menahan lapar semalaman.

Kembali lagi pada hari ini. Pak Jono berdiri menjulang di depan Ola dengan senyum cerahnya. Ia tampak begitu bahagia meski kantung mata jelas menghiasi bawah matanya karena lelah.

"Ada apa, Pak?" Tanggap gadis itu.

"Nanti sore di rumah ada acara syukuran kecil-kecilan. Datang ya, Bu." Lalu lelaki itu memberikan sebuah undangan.

Setelah dibaca, ternyata Pak Jono mengadakan syukuran menyambut kelahiran putri pertamanya.

"Jelas datang pak. Kan kita tetangga dekat." Ola tersenyum. "Ya karena di jalanan sekitar sana rumahnya cuma tiga. Lagian acara begini kan lumayan buat makan gratis." Lanjut gadis itu tapi hanya dalam hati.

Setelahnya Pak Jono pamit duluan. Sementara Ola masih harus merapikan meja kerjanya sebelum pulang.

Tapi tidak butuh waktu lama. Ola segera pulang dengan berjalan kaki. Ia beberapa kali berpapasan dengan para murid yang masih betah bermain di halaman sekolah. Ada juga yang sedang jajan di warung dekat sana.

Langkahnya semakim jauh. Setelah itu masuk ke jalanan berbatu yang kiri dan kanannya adalah ladang. Ladang luas yang ternyata milik keluarga Javas.

Kepala Ola menggeleng kuat saat nama dan sosok lelaki bernama Javas itu malah terbayang.

"Kenapa malah kebayang sih?" Gerutunya.

Gadis itu beberapa kali menghela napas. Ia menatap rumah yang sudah mulai tampak di jarak pandang matanya.

"Ayo jalan dikit lagi." Ola bermonolog.

Namun suara mesin motor dari belakang mengalihkan atensi gadis itu.

Motor itu berhenti di samping Ola yang juga menghentikan langkahnya.

"Ayo naik, Mbak."

"Tumben?"

"Tumben apa?"

"Langsung nawarin."

"Oh, yaudah udah kalau nggak mau dikasih tumpangan."

Lelaki yang membawa motor menarik gas, namun jalannya sangat pelan.

Lelaki bernama Javas itu berdecak, "naiklah, Mbak. Lumayan kan hemat waktu terus sepatunya jadi nggak tambah rusak."

Sepatu Ola memang agak rusak karena kondisi jalanan yang selalu ia lewati.

Bagian solnya mulai tipis. Kulitnya pun terkelupas karena bergesekan dengan batu kerikil yang cukup tajam.

Imperfect Perfection (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang