41. Clueless

9.7K 1K 61
                                    

Entah memang perasaan Javas saja, atau masih ada sesuatu yang disembunyikan Ola. Lelaki itu jadi bingung. Hal ini karena sikap Ola yang agak lain. Misalnya saat bicara, gadis itu sebisa mungkin tidak menatapnya. Kemudian, Ola punya banyak sekali alasan untuk tidak pergi berdua untuk sekedar makan. Saat berdua juga, Ola banyak termenung.

Rasanya, gadis itu jauh. Padahal tinggalnya di rumah sebelah dan satu halaman.

Oleh karena itu, hari ini sepulang piket, Javas langsung menunggu sang gadis di depan gerbang sekolah.

Javas bertekad akan membuat Ola bicara tentang masalah yang mengganggunya. Mungkin setelah gadis itu terbuka, Javas bisa membantu memberi jalan keluar bukan?

"Loh katanya piket nyambung sampai malam?" Tanya Ola saat mendapati Javas ada di depan sekolah.

"Iya sih. Tapi terus ada yang tukar," kilah lelaki itu.

Sebenarnya Javas berbohong. Ia tidak piket malam. Hal itu dikatakannya pagi tadi agar Ola tidak menghindar saat diajak pulang bersama.

"Oh gitu," respon Ola.

Javas tersenyum kecil. Ia menyodorkan helm ke arah gadis tersebut seraya berkata, "mampir cari makan ya. Laper nih."

"Oke." Ola setuju dengan mudahnya. Padahal belakangan ini pasti melontarkan banyak alasan.

Motor Javas melaju di jalanan desa. Udara dingin sudah terasa karena sore telah menyapa.

Beberapa kali lelaki itu membunyikan klaskson tatkala berpapasan dan disapa orang-orang yang mengenalnya. Hingga dua insan itu tiba di sebuah warung nasi dekat pasar.

"Bungkus dua. Satunya jangan pedas, satunya pedas banget," pesan lelaki itu.

"Nggak makan sini?" Tanya Ola.

Javas menggeleng, "kita makan di spot keren aja. Hitung-hitung piknik sore menikmati senja."

Bibir gadis itu mengembangkan senyum. Tapi itu senyum yang berbeda. Bukan tersipu atau merasa Javas memaksa lucu. Senyum itu tampak memaksa guna menghargai lontaran receh Javas.

Tak banyak kata terlontar selama di jalan menuju tempat yang Javas bilang. Sesekali Javas melempar tanya atau bercerita tentang pasien yang dirawatnya hari ini. Namun, hanya respon singkat yang ia dapat.

Obrolan itu berjalan satu arah saja. Hanya Javas yang berceloteh ini dan itu hingga tiba di lokasi.

"Ladang?" Kening Ola mengenyit. Ia menatap Javas yang sedang mengangguk semangat.

Tujuan mereka tidak jauh dari rumah. Malah dekat sekali. Tepatnya di ladang sebelah rumah kosong bekas disewa Pak Jono.

Lelaki itu memarkir motornya di pinggir ladang. Kemudian mengulurkan tangan untuk membantu Ola melewati pematangnya.

Jauh ditengah sana ada sebuah saung. Biasanya, para pekerja ladang akan beristirahat setelah seharian bekerja merawat tanaman yang ditanam.

"Sudah mulai berbuah. Sebentar lagi musim terus desa bakalan ramai," ujar Javas.

Mata lelaki itu berbinar melihat ladangnya ditumbuhi buah strawberry cukup lebat, tapi masih hijau.

"Libur besok kita bantu bapak-bapak sama ibu-ibu petani metik sebagian buahnya ya? Ini terlalu banyak. Nanti buahnya malah nggak enak karena rebutan nutrisi." Javas berceloteh.

Lelaki itu pun duduk di saung. Ia membuka bungkusa nasi dan disodorkannya ke Ola.

"Makasih," ucap gadis itu.

Ola benar-benar tenang. Gadis itu lebih banyak menyimak dan minim interaksi dengan lelakinya.

"Mbak," panggil Javas.

Imperfect Perfection (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang