20. Worry

12.2K 1.2K 19
                                    

Rasanya mata Ola begitu berat untuk terbuka. Namun ia harus bersiap. Hari telah berganti menjadi pagi. Ia ada jadwal mengajar di jam pertama ini.

Meski berat, gadis itu akhirnya beranjak dari kasur. Langah kakinya sempoyongan karena kepala yang pusing.

Ia terduduk di sofa ruang tengah. Sengaja memulihkan tenaga dan mengumpulkan nyawa sepenuhnya. Namun serangan sakit pada kepalanya begitu kuat.

"Ah, panas." Gadis itu menggumam. Ia meletakkan telapak tangannya di kening.

Ola jatuh sakit. Ia demam dan tenaganya seperti hilang begitu saja. Tumben. Padahal ia adalah tipe yang jarang sakit.

Seketika tenggorokan gadis itu terasa kering. Ia pun berjalan pelan untuk mengambil air minum di dapur.

Lidahnya merasakan pahit begitu air putih ia tenggak. Benar-benar tidak nyaman.

"Lo nggak boleh lemah, Ola. Semangat! Sakit gini doang." Ola bermonolog.

Setidaknya dengan menjaga semangat dan berpikir positif, sakit di badannya bisa hilang. Begitulah yang gadis tersebut pikirkan.

Pada akhirnya, ia benar-benar mengabaikan rasa sakit. Ola bersiap seperti biasa sebelum berangkat mengajar.

Demi memutupi wajah pucatnya, gadis itu sedikit berdandan tipis. Ia tidak mau menjadi pusat perhatian karena tampak sakit. Ola sangat tidak suka hal tersebut.

Seperti biasa, ia pun mengunci pintu rumah dan berjalan kaki menuju sekolah.

Kali ini ia memakai sepatu baru dari Javas. Sudah dua minggu lamanya sepatu itu ia gunakan. Ukurannya pas serta sangat nyaman dipakai.

Senyum Ola merekah jika mengingat bagaimana lelaki itu memberikannya. Berdalih pergi mendaki untuk menemani adik-adik Javas, ia pun mendapat dua sepatu bagus sekaligus. Satu untuk mendaki, satu lagi untuk mengajar.

Perlahan gadis itu melangkah. Meninggalkan rumah dengan memanfaatkan tenaga seadanya. Namun rasa pusing itu semakin parah. Ia sempat limbung meski bisa kembali berdiri tegak.

Gadis itu sampai berjongkok. Ia mengatur napasnya yang tersengal.

"Kuat. Gue kuat," gumamnya.

"Mbak Ola?"

Akibat tidak fokus, gadis itu sampai tidak mendengar deru mesin motor milik Javas. Pengelihatannya yang memburam juga menjadikannya tidak sadar kalau dari arah jalan besar Javas terus mendekat sambil mengendarai motornya.

"Mbak Ola nggak apa-apa?"

Lelaki itu masih duduk di atas motornya. Membiarkan Ola mendongak. Kepalanya mengangguk pelan sebelum semuanya tampak semakin buram.

"Mbak Ola?" Panggilan itu semakin samar terdengar. Kemudian semuanya gelap.

...

Pagi ini Javas merasa sangat lelah setelah semalam merawat pasien darurat. Beberapa pendaki tersesat dan terluka cukup parah tiba di puskesmas tepat tengah malam.

Ada sekitar enam pendaki yang terluka. Dua diantaranya bahkan tidak sadarkan diri. Satu lagi mengalami hipotermia parah.

Malam tadi hanya Javas seorang dokter yang berjaga. Jadi ia mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menangani pasien.

Begitu pagi tiba dan shift berakhir, lelaki itu merasa lega. Ia segera mengendarai motornya untuk pulang. Kasur di kamar seolah memanggilnya agar segera merebahkan diri.

Berhubung ia sedikit mengantuk, maka Javas mengendarai motor pelan-pelan. Memasuki jalan berbatu menuju rumah, matanya menangkap sosok Ola. Gadis itu berjalan pelan bagai tidak ada tenaga. Lalu berjongkok sambil memegangi kepalanya.

Imperfect Perfection (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang