40. How Can I Love You

9.8K 1K 49
                                    

Senyum Javas merekah lebar hingga lesung pipinya terbentuk sempurna. Mata lelaki itu juga berbinar kala melihat gadisnya keluar dari terminal kedatangan.

Begitu Ola mendekat, tangan lelaki itu terentang. Seolah memberi tanda untuk gadis itu agar masuk dalam pelukannya.

Namun, Ola malah berhenti lima meter darinya. Tatapan mata Ola begitu sendu dan meninggalkan tanda tanya di benak Javas.

Lelaki itu mengernyit, tapi tiba-tiba Ola menubruknya. Memeluk lelaki itu dengan sangat erat.

"Ya ampun... sekangen itu sama aku?" Javas terkekeh. Ia membalas pelukan itu dan menghirup aroma cologne segar yang selalu Ola pakai.

Cukup lama mereka berpelukan di depan pintu terminal kedatangan. Bahkan keduanya sampai menjadi tontonan orang-orang yang berlalu lalang.

Javas pun tidak enak hati dan menjadi yang pertama melepas pelukan itu.

"Kita jadi dilihatin. Ayo pulang. Mama di rumah masak makan siang spesial buat Mbak Ola," tutur Javas.

Sekuat tenaga Ola menahan air matanya agar tidak jatuh. Keluarga Javas sebaik itu. Mamanya, papanya, saudara-saudaranya. Ia tidak bisa membayangkan respon mereka saat tahu jati diri Ola sebenarnya.

Kepala gadis itu serasa mau pecah akibat memikirkan hal ini sejak kemarin. Bicara pada mamanya sendiri sama sekali tidak membantu.

"Kamu gila? Putus aja," kata mama waktu itu.

Putus?

Senyum Javas terus merekah. Ia banyak bertanya tentang kabar Ola. Lelaki itu juga bercerita tentang hari-harinya selama di tempat sang orang tua saat mengambil cuti.

"Aku baru tau, ternyata si adek lagi galau. Dia suka cewek di kelasnya tapi malu-malu gitu buat deketin." Javas terkekeh. "Badan doang yang bosngsor emang si adek."

Tanggapan Ola hanya tersenyum kecil. Dibiarkannya Javas bercerita dengan semangat. Gadis itu hanya perlu mendengarkan dan menatap wajah penuh ekspresi lelaki tersebut.

"Mama kamu di sana baik-baik aja kan?" Lelaki itu mengalihkan topik.

"Mama baik-baik aja. Kita banyak ngobrol. Aku juga akhirnya bisa berdoa di makam nenek," jawab Ola.

Dia menjawab dengan jujur, hanya saja meninggalkan beberapa fakta seperti mamanya yang sedang mendekam di sel kantor polisi, ia kini harus membayar hutang dengan jumlah besar, dan sempat menemui tantenya yang psikopat di penjara.

"Syukurlah," tanggap Javas.

"Hmmm, aku tidur sebentar ya," izin Ola.

Sebenarnya itu hanya alasan untuk menghindari pembicaraan. Sementara Javas menyetir, lebih baik Ola pura-pura tidur saja.

"Pasti capek. Tidur aja, nanti kalau sudah sampai tempat mama aku bangunin."

Javas menoleh sekilas. Diraihnya sebelah tangan Ola untuk dia genggam.

Bagaimana mungkin gadis itu bisa jujur ketika posisinya seperti ini. Jika masalahnya hanya karena sang mama, mungkin Ola masih bisa menahan malu.

Namun, masalahnya lebih pelik. Ini tentang masa lalu yang masih meninggalkan luka sangat dalam pada diri Javas dan keluarganya. Luka itu juga menggores Ola hingga membuatnya menjadi pribadi yang pesimis.

Gadis itu mengarahkan kepalanya ke jendela. Ia menutup mata rapat-rapat untuk mencegah air mata menerobos keluar.

"Aku harus gimana?" Batin gadis itu.

.
.
.

Suara tawa menghiasi makan siang di rumah orang tua Javas. Berhubung ini hari Sabtu, maka papa dan Jiyad sedang libur. Seluruh keluarga berada di rumah kecuali si kembar.

Imperfect Perfection (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang