45. Unfinished Feeling

11.2K 1.1K 47
                                    

Usai mengungkapkan keinginannya pindah saat sarapan, Ola pamit pergi. Ia ingin bekerja dengan suasana baru karena suntuk di rumah. Selain menerjemahkan film, Ola juga bekerja menerjemahkan buku. Sesuai dengan jadwal kerjanya, hari ini ia haru menyelesaikan beberapa bab terjemahan buku sebelum masa tenggat berakhir. 

Tidak seperti orang-orang kebanyakan yang memilih kafe sebagai kantor kedua, Ola pergi ke tempat lain. Dia senang jika suasana sekitarnya sejuk dan banyak pepohonan. Oleh karena itu ia pergi ke kebun binatang. 

Meski namanya kebun binatang, tapi beberapa bagian tempatnya lebih seperti taman. Pohon-pohon besar tumbuh subur di sana. Juga, ada beberapa jenis bunga warna-warni menghiasi area terbukanya. Bangku-bangku taman tidak luput dari perhatian pengelola juga. 

Syukurnya, ini bukan akhir pekan. Maka dari itu, kebun binatang cenderung lebih sepi. Rata-rata pengunjung yang datang adalah grup tur. Jadi, kebun binatang yang cukup luas itu tidak begitu kosong, dan Ola suka seuasana seperti ini. 

Terkadang, ia suka sekali memerhatikan orang-orang yang menikmati waktu kebersamaan mereka dengan keluarga atau teman. Namun tempatnya bukan di lokasi padat. Lebih ke di tempat tenang seperti sekarang.

Ola menarik napasnya dalam-dalam. Dia berjalan di bawah rimbunnya pepohonan yang menghasilkan banyak oksigen. Pikirannya yang kemarin sempat keruh, bisa sedikit lebih jernih dan segar. 

Teng Teng Teng!

Itu suara dari bel yang kereta wisata yang berkeliling mengangkut pengunjung. Biasanya, ada saja pengunjung yang malas atau lelah berjalan mengelilingi kebun binatang. Jadi, mereka memilih untuk merogoh koceknya lebih dalam untuk naik kereta. 

Namun, Ola melihat tak jauh dari tempatnya berjalan ada seorang anak perempuan yang terjatuh. Sementara kereta yang tadinya masih jauh semakin dekat. Anak itu tidak sadar akan bahaya, malah menangis dengan posisi terjerembab. 

"Orang tuanya mana?" Gumam Ola. 

Ia berlari sekencang mungkin. Setelah itu mengangkat anak itu dan memeluknya erat. Sampai-sampai, Ola tidak merasakan sikunya sedikit tergores badan kereta karena jarak berdirinya terlalu dekat. 

"Ayah!" Tangis gadis kecil itu dalam gendongan Ola. 

Ditepuknya punggung anak itu pelan. Sementara di belakang mereka, terdengar derap langkah cepat. Hal itu membuat Ola berbalik badan. Tubuhnya membeku, bahkan tidak terasa gadis kecil dalam gendongannya sudah beralih tangan.

"Thanks," ucap lelaki yang kini menggendong anak perempuan imut itu. 

Gadis itu mengangguk kecil, "lain kali hati-hati ya." 

Ia mengelus lembut kepala anak perempuan itu sambil memberikan senyuman. Kemudian berjalan menjauh sambil memungut tas kanvasnya. 

Hilang sudah niatnya untuk memarahi orang tua anak itu. Fokusnya hilang karena fakta bahwa laptopnya rusak dan lelaki yang kemarin tidak sengaja ia temui di bus telah memiliki anak. 

Tanpa menoleh ke belakang, ia terus berjalan. Secepatnya menjauh dari sosok lelaki itu. Ia sama sekali tidak ingin terlibat dengannya. Dada gadis itu serasa sesak. Matanya memanas seolah air mata terus mendesak keluar dan mengaliri pipinya. 

"Kenapa sih? Wajar kalau dia punya anak. Sudah tujuh tahu, La," monolognya dalam hati. 

Satu tetes air matanya jatuh. Namun, dengan cepat gadis itu menyekanya. Ia tetap berjalan hingga sebuah panggilan membuat langkahnya secara otomatis terhenti. 

"Mbak Ola!" 

Suara itu...

Sudah lama sekali ia tidak dengar panggilan dengan suara itu. Kalau kata para gadis desa tempatnya tinggal dulu, suara lelaki itu setampan parasnya. Sekarang, tentu tidak berubah. Masih tampan bahkan lebih menawan seiring kedewasaan yang juga bertambah. 

Imperfect Perfection (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang