Javas berbaring di kasur sambil menatap langit-langit kamar. Ia menghela napas dengan berat beberapa kali. Otak dan hatinya sama-sama sedang bingung akibat kejadian siang tadi. Tidak pernah lelaki itu bayangkan bisa bertemu kembali dengan Ola dengan cara seperti tadi.
"Jadi selama ini dia tinggal di kota ini?" Monolognya.
Pantas saja, mencari Ola sangat sulit. Selama beberapa waktu setelah ia ditinggalkan, fokus pencariannya hanya di sekitar ibu kota.
"Kenapa nggak bisa marah sih?" Lelaki itu kembali bicara sendiri.
Seharusnya Javas merasa marah dan menunjukkan sisi dinginnya ketika bertemu Ola. Begitulah yang ia rencanakan sejak jauh-jauh hari. Seringkali ia berandai bisa bertemu Ola dalam kondisi kebetulan. Mungkin di kali pertama bertemu saat dalam bus, ia bisa memasang wajah dinginnya. Sayangnya, pertemuan yang kedua harus disertai kejadian yang membuat Javas hampir terkena serangan jantung.
Tadi saat makan siang Javas juga merutuki dirinya yang tiba-tiba menjadi bodoh. Ia malah bertanya kabar dan pekerjaan Ola sekarang.
"Pertanyaan macam apa itu? Harusnya tanya kenapa dulu pergi gitu aja. Atau tanya, apa dia sudah nikah?" Javas melanjutkan perbincangan pada dirinya sendiri.
"Oh, jangan tanya soal status. Itu urusan pribadi," gumamnya sambil menggelengkan kepala.
Untung saja Javas hanya sendirian di kamar. Jika para pemilik rumah melihatnya bicara sendiri begini, bisa-bisa Wira langsung membawanya ke psikiater.
Kali ini, Javas mengubah posisi dari berbaring menjadi duduk. Ia menepuk keningnya saat teringat tadi siang hanya mengantar Ola sampai halte dekat rumah makan.
"Javas, harusnya tadi kamu antar dia sampai rumah," geramnya pada diri sendiri.
"Oh... jangan, jangan. Mungkin itu privasi dia juga."
Sekarang, lelaki itu malah mengacak rambut tebalnya yang mulai gondrong. Ia enggan menyukurnya saat sedang liburan begini. Biasanya, lelaki itu juga malas mencukur kumis dan janggut. Cuma karena tinggal menumpang di rumah dua sahabatnya, lelaki itu tetap menjaga wajahnya bersih dari brewok.
"Bisa ketemu lagi nggak ya?" Tanya Javas pada dirinya sendiri.
Sadar dengan pertanyaan konyol penuh harap itu, ia segera menoyor kepalanya sendiri.
"Mikir apa sih? Jangan ngarep!" Ia geram pada dirinya sendiri.
Sepertinya Javas memang perlu seorang ahli untuk membantunya melupakan masalah tadi.
.
.
.Kedua tangan Javas terlipat di atas meja makan. Di hadapannya ada Cherry yang memasang tampang serius. Sementara Wira sudah lebih dulu kabur dengan dalih membacakan dongeng pengantar tidur untuk Lily.
"Alhamdulillah, Lily nggak kenapa-kenapa, Cher. Itu tandanya memang Lily dilindungi Allah dari mara bahaya," ujar Javas.
Jadi, lelaki itu sedang disidang perihal kejadian di kebun binatang. Tadinya Javas mau sengaja diam agar tidak menimbulkan kepanikan. Namun, Lily adalah anak yang pintar. Meski belum empat tahun, gadis kecil itu sudah sangat pandai bercerita. Ia melaporkan segala yang terjadi secara runtut dengan gaya imutnya.
"Oke, susah emang kalau kamu bawa-bawa Tuhan. Aku jadi bingung mau balas gimana," kata Cherry.
Senyum Javas mengembang lebar. Lelaki itu hendak kembali ke kamar. Tapi kemudian Cherry kembali bersuara.
"Terus, tante yang katanya nolongin Lily dimana? Kamu tau tempat tinggalnya? Kontaknya?" Tanya ibu satu anak itu.
Kepala Javas menggeleng. Cherry tidak tahu saja kalau wanita penyelamat anaknya adalah Ola. Sepertinya, Lily tidak menyebutkan nama saat bercerita pada sang mama tadi. Jika Cherry tahu dan mendapati Javas tidak memiliki informasi apa pun untuk bisa menghubungi gadis itu, bisa kena omel sampai pagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Imperfect Perfection (Complete)
RomanceJatuh cinta dan patah hati di hari yang sama. Itu adalah pengalaman hidup Ola yang sulit ia lupakan. Bahkan gadis itu bersumpah tidak ingin lagi bertemu orang yang membuat hatinya dibolak-balik dalam sehari itu. Siapa sangka mereka kembali bertemu...