22. Mutual

10.7K 1.2K 52
                                    

Telinga Ola seolah tuli. Meski sekitarnya ramai, namun gadis itu hanya fokus pada suara gulungan ombak yang membentur pasir hitam.

Matanya menatap resah pada deretan perahu besar yang terparkir di pinggir pantai. Perahu-perahu itu bergerak ketika ombak datang.

"Ayo!" Samar-samar Ola mendengar suara Javas. Lelaki itu telah lebih dulu berjalan di depan. Namun berhenti dan berbalik karena Ola mematung di tempatnya.

"Mbak Ola!" Panggilnya lagi. Kali ini suara maskulin lelaki tersebut dengan jelas masuk ke telinganya.

Pergelangan tangan Ola serasa dicengkeram pelan. Kemudian Javas setengah menariknya agar berjalan menuju pantai. Lebih tepatnya menuju perahu. Mengikuti arus penumpang lain.

"Saya nggak jadi ikut aja deh, Mas." Gadis tersebut angkat bicara pada akhirnya.

Javas menoleh. Keningnya mengernyit. Kemudian bertanya, "kenapa?"

Ola menggigit bibir bawahnya. Jelas tampak bahwa ia resah. Sesekali gadis itu melirik ke arah perahu. Para calon penumpang terlihat mengantre untuk menaikinya.

"Takut?" Tebak Javas.

"Trauma."

Lelaki itu terdiam. Ia menghela napas. Ola pikir lelaki itu akan menyemprotnya karena emosi. Tapi tidak.

"Kalau naiknya speed boat yang privat bisa berkurang nggak traumanya?"

Ditanya begitu Ola jadi bimbang. Pasalnya ia trauma menaiki jenis apa pun transportasi air.

"Saya tungguin di sini aja kalau gitu. Nanti pas konsernya selesai Mas Javas langsung balik kan?"

"Konsernya nanti sore sampai malam."

"Hah?"

"Kalau Mbak Ola mau tunggu sampai pagi sih nggak apa-apa. Kalau mau pulang sendiri nggak mungkin. Nggak ada kendaraan umum soalnya." Javas berujar santai.

Lelaki itu masih berdiri. Kali ini menghadap Ola. Ia menunggu respon gadis tersebut.

"Gimana?" Lelaki itu menatap Ola sekilas sebelum mengecek apa perahu yang harusnya mereka tumpangi sudah diisi penuh penumpang.

Sementara itu, Ola bimbang. Ia juga menatap perahu yang penuh. Lalu ngeri sendiri saat membayangkan hal-hal buruk terjadi.

Bagaimana kalau di tengah pelayaran perahunya bocor dan tenggelam. Atau bisa saja perahu itu menabrak batu karang lalu terbelah seperti kapal Titanic. Bisa juga kapalnya sampai terbalik karena kelebihan muatan.

Muatannya memang banyak. Bukan cuma orang, tapi juga kambing, serta barang-barang kebutuhan pokok seperti sayuran juga sembako.

"Saya harus ke sana. Ini sudah hampir telat sebenarnya. Kalau Mbak Ola ragu naik public boat, kita pakai aja private boat. Tapi bayarnya patungan ya." Javas berujar.

Jangan pernah berpikir Javas akan rela begitu saja merogoh koceknya sampai dua kali hanya untuk membeli tiket transportasi ke pulau seberang.

"Oke deh," ucap Ola dengan nada terpaksa.

Javas pun mengangguk. Kali ini mengajak Ola untuk mengikutinya menuju loket pembelian tiket.

"Speed boat untuk dua orang." Javas bicara pada penjual tiket melalui celah kecil di loket.

"Seratus enam puluh ribu," ujar mas penjual tiket sambil menyerahkan dua kertas berupa karcis pada Javas.

"Mbak, delapan puluh ribu." Lelaki itu mengadahkan tangan.

Imperfect Perfection (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang