54. The Other Obstacles

9.9K 1K 106
                                    

Suasana makan malam sebetulnya cukup semarak. Apalagi para pemuda di meja tidak henti mengoceh dan menggoda Jovan yang akan segera menjadi pengantin. Namun, Javas tidak menikmatinya. Ia sadar bahwa beberapa orang tua memberikan tatapan dingin pada Ola. Terutama papanya sendiri dan mami, tantenya sendiri.

Oleh karena itu, Javas tidak bisa tenang saat sedang menyantap makanan. Atensinya selalu tertuju pada Ola yang duduk di sebelahnya. Gadis itu juga diam saja dan hanya bicara saat ada yang melontarkan pertanyaan.

Refleks, sebelah tangan Javas menggenggam jemari gadis itu. Setidaknya Javas ingin memberi tanda bahwa ia ada di sisi Ola.

"Aku lebih baik pulang aja," kata Ola ketika makan malam sudah usai.

Ia dan Javas sedang merapikan meja. Para pemuda lain ada di dapur dan telah berbagi tugas untuk mencuci peralatan makan. Sementara sebagian orang tua pergi ke rumah seberang untuk mengobrol dengan keluarga calon mempelai perempuan.

Tinggallah Ola dan Javas di halaman berumput itu. Malam dingin di Desa Lembah semakin membuat segalanya suram.

"Tapi kita sudah sampai sini," tanggap Javas. "At least, kita harus coba untuk ngomong ke papa."

Javas dan tekadnya. Lelaki itu tidak bisa menyerah begitu saja. Dia tidak ingin kehilangan Ola lagi. Baginya, Ola mungkin terkait dengan masa lalu, tapi gadis itu tidak pernah ada di dalam masa lalu yang Javas ingat.

"Tapi..." terlihat sekali kalau Ola meragu.

Mungkin gadis itu menyesali keputusannya untuk ikut. Namun, Javas tidak ingin berpikir kalau Ola juga menyesal dengan keputusan untuk kembali menjalin sebuah ikatan dengannya.

"Kita harus ngomong, Mbak," kata Javas penuh tekad.

Lelaki itu menggamit pergelangan tangan Ola. Kemudian menarik gadis itu agar mengikuti langkahnya menuju dalam rumah.

Di ruang keluarga nan luas itu ada papa yang sedang duduk sambil membaca buku. Mama juga di sana sedang menonton televisi.

"Pa." Lelaki itu bersuara untuk menarik atensi orang tuanya.

Benar saja, mama langsung mematikan televisi. Sementara papa menurunkan buku bacaannya.

Mata papa tertuju pada Javas. Seolah menghindar untuk menatap Ola.

"Javas mau ngomong sama papa sama mama," lanjut lelaki itu.

Ola ada di belakangnya. Gadis itu menunduk karena tidak berani menatap papa.

Seketika Javas berlutut di depan papa. Ola juga mengikuti aksi tersebut.

"Javas serius sama Mbak Ola," lelaki itu kembali bersuara. "Tolong restuin kita."

Sebenarnya nada bicara Javas agak memaksa. Namun, lelaki itu sudah tidak lagi peduli.

"Memangnya nggak ada pilihan lain?" Itu suara mami. Beliau datang dari arah pintu kamar di belakang Javas dan Ola.

Javas sadar bahwa dua orang dalam hidupnya pasti akan menjadi penghalang terbesar. Papa dan mami. Mungkin merekalah yang paling mendendam akan kejadian dahulu.

"Pa," mama ikut buka suara. "Kiran."

Cengkraman tangan Javas pada pergelangan tangan Ola sedikit mengerat, "pilihan Javas adalah Mbak Ola."

.
.
.

"Pilihan Javas adalah Mbak Ola."

Sebuah pernyataan tegas yang dilontarkan Javas. Kalimat itu mampu membuat darah Ola berdesir. Jantungnya berpacu dengan cepat dan membuatnya tersipu.

Imperfect Perfection (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang