05. Market and That Man

15.8K 1.5K 44
                                    

Akhir pekan telah tiba. Ola menyambutnya dengan suka cita. Ia bangun pagi-pagi sekali dan langsung membuka jendela kamar. Namun ia dikejutkan dengan sosok wajah yang menempel di kaca jendelanya.

"Aaa!!!" Jerit Ola dengan nyaring.

Gadis itu segera menutup gorden dan berlari keluar kamar.

Sungguh, ini kali pertamanya melihat penampakan begitu. Padahal hari sudah pagi meski langit belum terang.

Tok tok tok

Suara ketukan itu berasal dari jendela kamarnya.

Sekujur tubuh Ola merinding. Ia mencari-cari ponsel. Untung saja semalam ponselnya ia letakkan di meja ruang tamu.

Gadis itu menatap layar. Ia mencari-cari nomor kontak. Namun ketika menemukan satu nama, malah ragu untuk men-dial.

Tok tok tok tok

Ketukan semakin besar dan cepat. Ola benar-benar ketakutan sekarang. Ia meringkuk di sofa dan menutup telinganya.

"Mbak Ola?"

Suara itu berasal dari pintu samping dekat dapur.

"Mbak Ola?" Panggilan itu datang lagi. Bersamaan dengan ketukan jendela yang terhenti.

Suara langkah kaki yang berlari kali ini terdengar dari luar jendela kamar.

"Woi!" Itu suara Javas. Ola mengenalinya.

Mengintip sedikit dari jendela ruang tamu, dilihatnya Javas berlari mengejar orang asing yang baru saja dari arah samping rumah yang ditempati Ola.

"Itu orang apa bukan sih?" Gumamnya.

Jantung gadis itu masih berdetak dengan cepat karena rasa takut yang menguasai diri.

Ia berpikir bahwa dirinya memang benar-benar sudah gila. Nekat sekali datang ke tempat asing begini dan tinggal sendirian.

Setelah menenangkan diri. Gadis itu mulai duduk tegak. Pintu rumah pun kembali diketuk. Tapi suara Javas ikut terdengar.

Setidaknya, Ola bisa sedikit bernapas lega karena mengenal Javas.

Ia membuka pintu untuk melihat Javas berdiri dengan napas terengah.

"Itu tadi orang gila. Emang suka usil apalagi sama orang baru. Makanya kalau ada ketukan yang aneh-aneh, abaikan aja." Lelaki itu kemudian berbalik. Sepertinya ia hanya ingin mengatakan hal itu saja.

"Mas Javas," panggil Ola. Ia agak kaku kalau harus memanggil nama saja. Jika dengan embel-embel "pak" juga kesannya terlalu formal.

Lelaki itu menoleh, "ya?"

"Saya belum punya peralatan masak sama peralatan makan."

Iya, hanya itu saja yang Ola butuhkan sekarang. Beberapa hari ini ia selalu makan di luar. Piring dan sendok yang ada di dapur adalah pinjaman dari Pak Jono.

"Kalau begitu, ayo." Ajak Javas.

"Ayo kemana?"

"Ya beli perabotan dapur yang kurang."

"Saya ikut?"

"Mbak Ola nggak mau cari sendiri sambil setor muka ke orang desa?"

Pertanyaan dibalas pertanyaan lagi. Itu adalah hal yang paling Ola tidak suka.

Entahlah, semua yang ada pada Javas menjadi bagian yang tidak ia suka. Termasuk wajah tampan dan lesung pipi dalamnya.

Di mata Ola, lelaki itu tidak lagi menawan. Cukup dulu terpana sesaat karena terpedaya tampang.

Imperfect Perfection (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang