Tok tok tok
Hari masih sangat pagi ketika pintu depan rumah Ola diketuk. Bahkan mentari belum berani bersinar menerangi langit.
Lembayung pagi ini juga disertai udara dingin menusuk. Jauh lebih dingin dari biasanya sebab musim kemarau mulai datang.
Tok tok tok
Suara ketukan itu kembali terdengar. Hal itu membuat Ola bangun dari peraduan.
Rambutnya awut-awutan dengan mata setengah terpejam. Gadis itu duduk di tepi kasur dan menguap beberapa kali sebelum melangkah keluar kamar.
Tok tok tok
Pintunya masih diketuk. Waspada akan kedatangan orang gila yang biasanya, Ola pun tidak segera membuka pintu. Ia malah menyibak sedikit gorden yang menutupi jendela di samping pintu. Ola mengintip untuk memastikan dirinya aman jika pintu dibuka.
Napas lega jelas berhembus dari hidung gadis itu saat mendapati sosok yang sejak tadi mengetuk pintunya.
"Pagi, Mbak Ola!" Ujar suara dalam nan menghanyutkan milik si pemilik rumah tempat gadis itu bernaung.
Meski enggan, ia tetap membuka pintu. Kemudian berdiri bersedekap menghadap lelaki tersebut.
Meski masih pagi, tapi penampilan lelaki bernama Javas itu sudah rapi. Rambut legamnya yang lebat telah diberi gel agar gampang diatur. Pakaiannya pun kemeja berwarna peach yang lengan panjangnya digulung sampai siku.
"Ya Tuhan, pagi-pagi pemandangannya luar biasa sekali." Ola membatin.
Jika saja ia tidak bisa mengontrol ekspresinya, sudah pasti gadis itu melongo karena terpesona.
"Ini masih pagi banget loh, ada apa?" Tanya Ola kemudian. Nada bicaranya agak ketus.
Well, tidak heran Ola jadi ketus begitu setiap melihat Javas. Pasalnya, hampir seluruh kaum Hawa di desa seperti memusuhinya.
Di sekolah, Ola jadi benar-benar terkucilkan. Kecuali bapak-bapak guru dan ibu guru berusia paruh baya, tidak ada yang mau mendekatinya.
Ola jadi bahan gosip sampai di luar lingkup sekolah. Semua gara-gara Javas yang secara gamblang menunjukkan perhatiannya. Meski sederhana, tapi tetap saja...
"Mbak, belek di matanya masih banyak udah ngedumel aja," tegur Javas.
Lelaki itu bersedekap sambil menatap Ola yang buru-buru menyeka ujung matanya.
"Hari ini kan libur..." sambung Javas, namun ucapannya langsung terhenti.
"Nggak mau ikut." Ola memotongnya dengan cepat.
"Memang mau ke mana? Saya belum selesai ngomong," ujar lelaki itu dengan ekspresi datarnya.
"Biasanya kan gitu," cicit Ola.
Javas terkekeh. Lelaki itu menyodorkan sebuah plastik bening berisi bungkusan daun.
"Saya emang mau pergi, tapi urusan kerja. Mampir ke sini mau pamit sambil ngasih ini. Oh iya, sama titip kunci rumah. Nanti kalau Mbak Ola butuh apa-apa, buka aja pintunya. Mau masak mie instan ada kok." Javas menjelaskan panjang lebar.
Ia memberikan dua bungkus nasi kuning pada Ola. Juga, kunci rumah sebelah.
"Tumben?"
"Apanya yang tumben?"
"Ya gini. Nitip-nitip sambil ngasih makan pula." Ola merasa heran.
Mendengar itu Javas terkekeh, "kenapa? Jadi terpesona ya?" Godanya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Imperfect Perfection (Complete)
RomanceJatuh cinta dan patah hati di hari yang sama. Itu adalah pengalaman hidup Ola yang sulit ia lupakan. Bahkan gadis itu bersumpah tidak ingin lagi bertemu orang yang membuat hatinya dibolak-balik dalam sehari itu. Siapa sangka mereka kembali bertemu...