17. The Cloudy Hill

13.6K 1.4K 59
                                    

Tepat pukul delapan pagi Ola keluar rumah sambil menyangklong ransel berisi keperluannya seperti handuk, peralatan mandi, jaket tambahan, kaos kaki ganti, dan beberapa batang cokelat manis beserta dua botol air minum.

Urusan tenda dan lain sebagainya sudah diatur oleh Jovan. Begitulah yang pemuda itu sampaikan semalam.

"Ayo, Mbak!" Sambut Gita dengan semangat begitu melihat Ola keluar rumah.

Rupanya semua sudah siap. Kecuali Javas. Lelaki itu masih memakai celana training dan kaos oblong barwarna abu-abu. Tidak seperti akan mendaki. Lebih tepatnya tampak baru bangun tidur.

"Mas Javas nggak ikut?" Tanya gadis itu kemudian.

"Nggak. Memang kenapa kalau saya nggak ikut?" Lelaki itu membalas dengan pertanyaan lain.

"Ya cuma tanya aja," jawab Ola.

"Oh, kirain biar bisa ambil kesempatan bareng saya terus." Celetuknya penuh percaya diri.

Masih pagi, tapi lelaki itu sudah membuat Ola kesal.

"Sepatunya lumayan juga dipakai Mbak Ola," lanjut Javas. Ia menatap kaki Ola sekilas lalu kembali masuk ke dalam rumah.

"Ayo jalan, Mbak!" Seru Jevin. Ternyata para anak muda sudah mulai berjalan ke arah titik mendaki Bukit Awan.

Iya, bukit yang tampak jelas dari rumah itu ternyata bernama Bukit Awan.

Konon katanya, matahari terbit dari bukit itu sangat menakjubkan. Ola sempat melihat beberapa foto di sosial media yang menunjukkan spektakulernya pemandangan bukit tersebut.

Menurutnya, di foto saja sudah sangat indah bagaimana kalau dilihat oleh mata telanjang. Pasti pengalaman dan rasanya akan sangat berbeda.

Meski agak malas ikut bersama para muda-mudi itu, tapi Ola berusaha untuk menikmati perjalanannya.

Perjalanan dengan berjalan kaki. Melewati pematang ladang, sambil menyapa para petani yang ternyata mengenal si kembar Jovan dan Jevin. Jika saja dua pemuda itu menetap di Desa Lembah, mungkin pamor Javas bisa terlampaui oleh mereka.

Javas meski ramah masih meninggalkan kesan kaku. Berbeda sekali dengan adik-adiknya yang meninggalkan kesan hangat serta akrab.

"Bagus ya, Mbak." Gita yang sengaja mensejajarkan dirinya dengan Ola menunjuk bukit di depan mereka.

Pagi ini langit begitu cerah. Warna birunya amat jernih. Udara juga cenderung hangat tanpa kabut. Hal itu membuat warna hijau dari pepohonan yang tumbuh di atas bukit semakin menonjol.

"Bagus banget," tanggap gadis itu.

Rasanya campur aduk. Ia senang bisa melihat pemandangan indah, tapi juga sudah membayangkan lelahnya mendaki bukit tersebut.

Setelah melewati ladang sayuran, mereka kini memasuki hutan bambu. Cerahnya sinar mentari semakin redup tertutup jejeran tanaman bambu yang menjulang tinggi.

Angin sepoi berhembus tipis, membuat batang bambu bergerak dan daun-daunnya bergesekan. Telinga Ola juga menangkap suara gemericik air dari sungai kecil yang lokasinya tidak jauh dari tempat mereka berjalan.

"Dulu pertama kali kesini tuh pas kita kelas lima SD." Jevin membuka sesi cerita.

Pemuda itu bersama kembarannya memimpin jalan. Sementara Ola berusaha menyamakan langkah bersama Gita.

"Sama papa, sama papi juga," lanjut Jovan.

"Only boys gitu ceritanya," timpal Gita. "Jadi aku nggak diajak. Tapi tetap have fun bareng mami sama mama." Gita ikut menambahkan.

Imperfect Perfection (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang