Empat Puluh Tujuh

14.2K 701 0
                                    

"Mas nggak sayang aku lagi, nggak sayang dedek juga!" sungut Alia dengan sebal.

Mendengar itu Arga menautkan kedua alisnya. Menghela panjang dan berusaha sabar. Dari pada Alia ngambek dan nanti susah untuk dibujuk, lebih baik ia dahulukan Alia untuk sekarang ini.

Berjalan pelan ke arah sofa yang kini telah dijadikan tempat untuk tiduran oleh Alia. Arga berjongkok di lantai dengan menjadikan sebelah kaki untuk tumpuan bagi tubuhnya. Mengusap rambut indah Alia yang selalu wangi itu. Alia berbaring menghadap pada badan sofa dan otomatis membelakangi Arga.

"Dear, sini katanya mau diusap dedeknya," kata Arga lembut. Bibirnya terangkat kala Alia menepis tangannya yang ada di pinggang wanita itu.

"Udah gak usah! Sana lanjutin aja kerjanya. Nggak usah peduli sama aku lagi. Kalau bisa nikah aja sama kertas dan file Mas itu," ucap Alia dengan ketus.

"Ya enggak bisa dong Dear, masa nikah sama kertas dan file. Gak bisa dapat anak yang bisa cuma dapat uang dan uang itu juga kertas. Kalau banyak uang cuma kaya doang namanya dan kalau kaya belum tentu bahagia. Lagian aku harus tanggung jawab udah hamilin kamu, dan aku juga enggak bisa berbagi rasa cinta ini yang cuma ada untuk kamu dan anak-anak kita nanti," jawab Arga. Memaksa menggapai tangan Alia dan membawanya pada pipi pria itu. Sesekali ia beri kecupan pada punggung tangan Alia.

Mendengar kalimat rayuan yang entah benar hanya rayuan atau memang tulus dari hati, Alia membalikkan badannya dengan bibir mengerucut sebal.
Membawa tangan Arga menuju perutnya, dan memejamkan mata saat merasakan sensasi usapan tangan Arga pada perutnya.

"Sehat terus ya Sayang. Papa udah nggak sabar nunggu kamu lahir, tapi masih kecil banget. Belum keliatan juga,"

Arga mengajak anaknya berbicara, meski tidak dijawab tapi Arga yakin jika anaknya bisa mendengar. Alia tersenyum dan mengelus rambut Arga lembut.

"Jangan suka nakal yah Nak. Kasian Mamanya, Papa sayang banget sama kamu dan Mama juga. Makasih Sayang udah mau hadir di rahim Mama buat Papa," kata Arga lagi.

Ia dekatkan bibirnya pada perut Alia dan mengecupnya penuh kasih. Sungguh ia sangat bahagia sekarang. Sebentar lagi kebahagiaannya akan lengkap dengan hadirnya sosok buah cinta mereka.

"Iya Papa, Mama juga katanya bahagia banget bisa sama Papa terus," jawab Alia tersenyum.

Bahagianya benar-benar tidak bisa terkira mendengar ucapan Arga tadi. Arga yang dulunya terlihat sangat tidak ingin menikah dengannya ternyata hanya topeng yang sengaja dipakai oleh pria itu untuk menutupi rasa cintanya.

Arga yang ternyata lebih dulu mencintai bahkan dari sejak ia belum mengenal Arga. Tapi sekarang rasa cinta itu sudah tidak bisa untuk disembunyikan lagi. Alia dan Arga sudah mencetuskan kta cinta lewat mulut dan perlakuan manis mereka antara satu sama lain.

"Dear, apa aku bisa ya, jadi suami sekaligus Papa yang baik buat kamu juga anak kita nanti," ujar Arga yang kini sudah menggapai pipi Alia dan menumpukan kepalanya pada telapak tangan yang ditahan sikutnya di atas tempat tidur.

Alia membalas tatapan Alia dan ikut mengusap pipi sang suami sampai ke rahang tegas Arga yang ditumbuhi rambut halus.

"Kenapa enggak Mas? Mas Arga itu emang orang yang baik. Jangankan untuk aku dan anak kandung Mas nanti, buat Rara juga Mas udah jadi ayah yang baik kok, meski pun Rara bukan anak kandung Mas, tapi Mas udah bisa sayangi dia sepenuh hati bahkan aku bisa rasakan ketulusan Mas dalam merawat Rara. Aku pun belum tentu bisa jadi istri dan ibu yang baik nanti, tapi aku akan belajar untuk itu. Dan aku yakin kita pasti bisa Mas, lagian selama ini juga Mas udah jadi suami dan ayah yang baik bahkan sangat baik untuk aku dan Rara," kata Alia lembut.

Arga tersenyum dan mengecup pipi Alia. Alia selalu bisa membuatnya tenang. Entah itu ucapannya, tatapannya bahkan sekedar melihatnya pun perasaan Arga menjadi lebih tenang.

"Aku bersyukur banget punya kamu Dear, tetap kaya gini, ya. Jangan berubah,"

"Kalo berulah boleh gak?" Alia mengusap kening Arga yang bergelombang.

"Boleh, tapi berulahnya di dalam kamar dan di atas ranjang." Arga terkekeh saat Alia mendengus pelan.

"Mas pikirannya langsung on ke arah sana," gerutu Alia dengan sebal.

"Ya gimana enggak selalu kepikiran tentang ranjang, punya istri secantik kamu." Arga semakin mendekatkan wajahnya pada Alia dan tanpa ragu Alia pun mengecup bibir Arga sekilas.

"Pak Ar, astagfirullah,"

Alia mendorong dada Arga agar menjauh, sedangkan Arga mengeram kesal. Memutar sedikit kepala guna melihat susah yang sudah mengganggu kegiatannya bersama sang istri.

Di depan pintu berdiri seorang laki-laki yang membelakangi mereka. Alia pun ikut melihat ke arah pintu. Dahinya mengernyit melihat punggung lelaki itu, ia seperti mengenalnya terlebih lagi rambut bagian belakang yang sangat ia kenal. Alia bangun dari baringannya dan duduk dengan manis di sofa.

"Ada apa," kata Arga.

Pria itu tadi membalikkan badannya menatap Arga yang sudah berjalan santai ke arah meja kerjanya dan duduk di kursi kebesarannya.

Nafas Alia tercekat di tenggorokan melihat siapa pria itu.  Pantas saja ia sangat mengenal baik punggungnya tadi ternyata itu adalah orang yang sangat ia kenal.

***

Suara riuh khas anak kecil menjadi suguhan yang khas bagi setiap telinga yang ada di lokasi ini. Lokasi yang sengaja dibangun untuk tempat anak-anak belajar dan menuntut ilmu.
Di kursi taman sekolah dasar itu terlihat dua orang gadis kecil yang saking bercengkerama ala anak-anak.

"Rara, nanti Papa Ella pulang dari luar negeri loh. Pasti Papa bawa mainan buat Ella terus besok Ella bagi Rara," celoteh seorang anak yang memanggil dirinya Ella.

"Kok dibagi buat Rara?" tanya Rara yang sedang mengobrol dengan temannya itu. Mereka bercerita sembari menyantap makanan dari bekal yang dibawa dari rumah masing-masing.

"Iya, kan Rara juga sering bagi Ella mainan kalo Papa Rara baru pulang dari luar negeri," jawab Ella. Memang Arga tidak pernah melarang Rara untuk membagikan mainannya pada teman-temannya. Semua itu ia lakukan agar Rara tumbuh menjadi anak yang suka berbagi.

"Nanti kita main aja sama-sama, Ella kan rumahnya deket sama rumah Rara. Jadi nanti Ella datang aja," kata Rara. Ella mengangguk setuju.

"Ella mau coba nggak sayur Rara. Ini yang buat Mamanya Rara loh," tawar Rara sambil memperlihatkan bekal yang ia bawa pada Ella.

"Kan Rara bawanya sikit. Kalo dikasih ke Ella nanti Rara gimana? Atau Rara mau makan punya Ella aja. Ini yang buat Mama Ella loh," kata Ella.

"Boleh, deh." Mereka saling menukar bekal dan menikmatinya sambil berceloteh ria, layaknya orang dewasa yang berbincang.

Duda Tampan (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang