Hari ini Arga masuk ke kantor karena kerjaannya memang susah banyak. Walau hanya menghadiri meeting dengan relasi bisnisnya saja tapi tetap ia harus hadir, bukan?
Setelah selesai dari acara meeting, Arga duduk dengan bersandar di kursi kerjanya.Drit drit drit.
Arga membuka mata yang sempat ia pejam. Mengambil ponsel dan memuat ada panggilan dari Erna di sana. Penasaran, Arga menekan tombol hijau untuk tersambung dengan Erna.
"Halo," ucap Arga sebagai salam pembuka.
Dahinya mengernyit mendengar suara Erna yang terisak di seberang sana.
"Ha ... halo, Arga ... tolong aku Ga, akkkkhhhh," kata Erna terbata dan seketika wanita itu berteriak seperti orang ketakutan. Arga memfokuskan pikirannya pada suara Erna.
"Erna, kamu di mana?" tanya Arga dengan nada cemas. Bagaimanapun ia pria yang tidak bisa melihat wanita meminta pertolongan.
"Ak ... ak ... a-aku di apartemen Ga, akkh." Arga langsung mematikan ponselnya dan bergerak melangkah keluar dari ruangannya. Ia akan memastikan ada apa dengan Erna sampai wanita itu meminta tolong padanya melalui ponsel.
Sesampainya di apartemen Erna, Arga langsung masuk dan mengedarkan pandangannya pada seluruh penjuru ruangan yang tidak terlalu luas itu. Pandangannya terpaku pada Erna yang meringkuk di atas sofa panjang dengan tangan memegang bagian perut.
"Erna, kamu kenapa?" tanya Arga sembari menghampiri Erna yang mungkin belum menyadari kehadirannya.
"Arga, perut aku sakit banget Ga," kata Erna diiringi rintihan.
Arga duduk di samping Erna dan meletakkan ponsel yang tadi ia pegang beralih mengambil gelas yang telah kosong di atas meja.
"Aku ke dapur dulu ambil minum. Kamu bersandar aja, jangan tiduran kaya gitu," kata Arga seraya pergi ke arah dapur dengan gelas kosong tadi di tangannya.
Erna menatap punggung Arga yang menjauh, matanya sedari tadi melirik pada ponsel Arga yang ada di atas meja. Tangannya terulur mengambil ponsel tersebut dan membuka password dengan tanggal lahir Alia. Ia tahu tanggal lahir Alia dari penelitian yang ia lakukan beberapa hari ini.
Bibirnya melengkungkan senyum melihat kunci yang ia masukkan benar. Mencari dan memanggil nomor Alia. Erna memberi mode mute pada volume panggilan agar Arga tidak curiga.
Buru-buru Erna meletakkan lagi ponsel Arga pada tempat semula dan memasang wajah yang dibuat seperti tengah menahan sakit.
Arga mengmenghampiri Erna lagi, kali ini dengan gelas yang berisi air putih."Kamu minum obat dulu," Arga mendekatkan gelas yang ada di tangannya pada bibir Erna. Arga seperti sudah sangat hafal jika Erna merintih tadi itu karena asam lambungnya yang kumat. Memiliki riwayat penyakit asam lambung Erna selalu menyediakan obat yang biasa ia konsumsi di rumah.
"Makasih Ga, udah agak mendingan," kata Erna sembari tersenyum dan meraih tangan Arga untuk ia kecup. Ia juga menyandarkan kepalanya pada Arga. Tangannya mulai bergerilya di atas dada pria itu. Mata Arga seakan membola kala baru menyadari pakaian yang Erna kenakan sangat minim. Apa wanita ini sengaja berpakaian seperti itu untuk menarik simpatinya? Arga todak ingin munafi, semua lelaki normal pasti akan tergiur dengan tububnya mulus wanita yang tersaji di depannya, mengenyampingkan rasa cinta pada orang yang ia cinta.Tidak terkecuali dengan Arga, ia juga dari kalangan lelaki normal.
***
Alia mengerutkan dahinya dengan ponsel yang nyaris menempel pada telinga. Tadi ia menerima telepon dari Arga, tapi tidak ada apa pun yang dikatakan pria itu. Alia sempat berpikir jika Arga secara tidak sengaja menekan panggilan pada nomor ponselnya. Tapi, saat mendengar suara Arga yang saling bersahutan dengan suara seorang wanita yang Alia sangat kenal. Jantungnya bergemuruh dan hatinya berdebar. Pikirannya mulai tidak tenang.
Alia mematikan ponselnya dengan tangan bergetar. Wanita cantik itu bergegas mengambil tas dan berlalu dari kamar. Alia memasuki mobilnya, mengendarai dengan pelan dan penuh konsentrasi.
Tadi ia sempat menggunakan nomor ponsel Arga untuk mengetahui keberadaan suaminya. Setelah lima belas menit mengendarai mobilnya, akhirnya Alia sampai di sebuah gedung bertingkat dengan tinggi yang tidak bisa dijangkau. Mungkin inilah yang disebut bangunan pencakar langit.
Melangkah dengan anggun, Alia berhenti di salah satu pintunya kamar apartemen yang semakin menunjukan keberadaan ponsel Arga yang sengaja ia sambung ke ponselnya. Pintu dalam keadaan terbuka dan memudahkan Alia untuk masuk. Alia tanpa pikir panjang langsung masuk ke dalam.
Langkahnya terhenti, tubuhnya kaku dan kaki sedikit bergetar. Dadanya berdenyut nyeri dengan darah mendidih antara marah dan sedih. Matanya menatap tanpa kedip pada sofa yang dihuni oleh dua anak manusia berbeda jenis. Kedua tengah menikmati rasa dari kedua bibir yang saling tertaut hingga satu pun dari mereka tidak ada yang menyadari keberadaannya di sini.
Ponsel yang Alia pegang terjatuh begitu saja ke lantai, karena tangannya yang bergetar terasa kelu dan mungkin tidak sadar jika sedang memegang sesuatu. Suara peraduan antara benda pipih itu dengan lantai keramik membuat Arga dan Erna terlonjak. Betapa terkejutnya Arga melihat sang istri berdiri di ambang pintu dengan mata yang berkaca-kaca dan tubuh yang kaku.
Dada Alia semakin terasa sesak saat melihat kemeja yang Arga kenakan sudah tidak terkancing dengan sempurna. Meski memakai kaos putih tapi tetap saja baju pria itu terbuka. Mata Alia beralih pada Erna yang masih duduk di sofa. Lebih mengejutkan lagi melihat pakaian model apa yang Erna kenakan.
Apa wanita ini sengaja menggoda suaminya? Tapi tamu tidak akan masuk jika pemilik rumah tidak membuka pintu. Jika Arga menolak maka tidak akan terjadi seperti yang ia tadi.
"Maaf aku ganggu," kata Alia susah payah.
Ya berbalik ingin melangkah sebelum tangannya ditahan oleh Arga. Meski ia tepis dengan kuat tetap saja tenaga Arga jauh lebih unggul dibanding Alia.
Akhirnya Alia menyerah dan menatap Arga dengan mata yang memerah menahan panas karena ingin mengeluarkan kristal beningnya. Arga tidak menyangka jika saat ini senyuman manis yang tengah ia dapat dari Alia. Bukan tamparan atau makian seperti kebanyakan orang."Kita bicarakan di rumah ya Mas, aku duluan." Alia menatap pada pergelangan tangannya yang masih dicekal oleh Arga lalu pandangannya mengarah pada pria itu. Arga menghela kasar.
"Kamu pulang sama aku," kata Arga. Melihat pasangan suami istri itu yang hendak pergi dengan cepat Alia meraih ponsel Arga dari atas meja dan berjalan pada pintu. Arga melihatnya dengan Alis bertaut namun, darahnya mendidih melihat ponselnya ada di tangan wanita itu.
"Ponsel kamu, Sayang," kata Erna sembari menyodorkan ponsel Arga.
Tanpa menjawab Arga meraih ponselnya dan membawa Alia pergi dari sana dengan tangan yang masih menggandeng, ralat mencekal tangan Alia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Duda Tampan (Tamat)
RomanceSEBAGIAN PART DIPRIVATE! FOLLOW AKUN AUTHOR DULU AGAR BISA BACA LENGKAP!!! Alia harus menahan pahit saat cintanya pada Arga, si duda tampan di awal pernikahan yang hanya bertepuk sebelah tangan. Segala cara ia tempuh agar Arga mau menatapnya sebaga...