Delapan Belas

29.8K 1.7K 10
                                    



Rumput yang melambai karena diterpa  angin menjadi pemandangan yang Alia nikmati saat ini. Duduk berdua di kursi taman bersama seorang wanita yang tadi mengirim pesan padanya.

Mereka memilih duduk di kursi yang tadi diduduki oleh Erna, orang yang meminta Alia datang ke taman ini. Keduanya sama-sama diam hingga ada suara angin yang bertabrakan dengan dedaunan di pohon yang menjadi sumber suara saat ini.

"Ada apa Mbak minta saya untuk ketemu di sini?" tanya Alia membuka percakapan.

Walau ia sedikit pendiam tapi Alia tidak tahan dengan keadaan yang terkesan canggung seperti ini. Lagian ia hanya diam di awal saja jika sudah ada yang memulai maka ia bisa lebih dari cerewet.

"To the point aja ya, aku mau kamu segera urus perceraian kamu dengan Arga!" kata Erna datar dan tegas.

Alia tak bergeming, wanita itu tidak menunjukan ekspresi terkejut atau marah apalagi sedih. Wajahnya ia tata sebiasa mungkin. Erna menatap tak suka pada ekspresi yang ditunjukkan Alia. Sedikit geram dengan tanggapan Alia yang terkesan biasa saja.

"Kenapa aku harus urus perceraian dengan suamiku ya Mbak? Kita berdua nggak ada niatan untuk mengakhiri pernikahan kita," ujar Alia.

Tidak tahan diam akhirnya wanita itu angkat bicara. Erna menggertakkan gigi mendengar jawaban Alia.

"Tidak ada niatan? Saya tidak yakin kamu masih bertahan dengan Arga setelah tau bagaimana gaya pacaran kami, terlebih aku sudah sangat matang dalam menghadapi Arga," sentak Erna. Alia tersenyum simpul namun sinis.

"Mbak, saya mau menikah dengan Mas Arga itu karena saya cinta sama dia dan karena rasa cinta itu juga saya percaya sama Mas Arga, dan saya yakin kalau Mas Arga juga akan menjaga kepercayaan saya," jawab Alia dengan tenang.

Ia tidak boleh terpancing emosi dan memang tipe orang yang seperti Erna ini harus dihadapi dengan sikap santai bukan? Santai tapi elegan.

"Dan tanpa kamu tau jika Arga sendiri yang merusak kepercayaan kamu itu,"

"Aku nggak ada merasakan kepercayaanku dirusak oleh Mas Arga,"

"Arga akan tetap menjadi milikku,  sama seperti saat belum ada kamu di kehidupannya. Arga akan selalu jadi milikku!" ucap Erna lantang seolah menegaskan pada Alia bahwa tidak ada yang bisa mengambil Arga darinya.

"Oh ya? Mas Arga sudah menikah Mbak, dan setau saya saat ini Arga menjadi milik istrinya!" jawab Alia tidak kalah tegasnya.

"Kamu sengaja memakai kata istri untuk bisa terus bersama Arga, begitu? Tanpa kamu tau kalau dia sebenarnya tidak ingin ada kamu di hidupnya,"
tungkas Erna yang membuat Alia lagi-lagi tersenyum, entah apa arti senyuman itu.

"Mas Arga bilang kaya gitu ke Mbak? Dan Mbak dengan gampangnya percaya? Apa Mbak nggak mikir kalo Mas Arga itu sebenarnya nggak suka sama Mbak? Apa nggak ngerasa tersindir sama sikap dingin dan tidak peduli yang selalu Mas Arga kasih ke Mbak? Sebenarnya siapa yang tidak ingin Mas Arga harapkan untuk ada di hidupnya? Saya atau Mbak Erna?"

ujar Alia. Bibirnya semakin melengkung, membentuk senyuman manis saat melihat wajah Erna kini berubah pias dan mulut wanita itu seolah bungkam dengan apa yang barusan ia lontarkan.

"Kamu-"

"Dan Mas Arga sudah cerita semuanya sama saya mengenai hubungannya dengan Mbak Erna. Setelah mendengar semua penjelasan dari Mas Arga sepertinya saya tidak peduli lagi terhadap perasaan Mas Arga untuk Mbak Erna yang ternyata memaksa Mas Arga untuk pacaran,"

"Saya memaksa Arga karena saya tahu kalau Arga memang milik saya!"

"Tapi buktinya Mas Arga lebih memilih menikahi saya ya meskipun masih pacaran sama Mbak sih. Dan cinta tanpa adanya ikatan pernikahan itu lambat laun akan pudar dan musnah pada waktunya," jawab Alia.

Melihat Erna yang diam tanpa kata Alia memilih bangun dari duduknya lalu pergi. Dalam hatinya Alia tersenyum bangga pada diri sendiri. Tidak sulit rupanya berurusan dengan pacar dari suaminya itu.

Alia menghentikan mobilnya di depan rumahnya ralat rumah Arga lebih tepatnya. Keningnya berkerut melihat Arga yang sudah duduk santai di kursi depan rumahnya.

Kapan pria itu pulang? Alia melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya, masih menunjukan jam tiga sore dan biasanya Arga pulang dari kantor jam lima atau enam sore.

Membalas senyuman Arga yang ternyata juga tengah menatapnya Alia lantas melangkah mendekati suaminya itu, ia salami punggung tangan Arga.

"Mas Arga kok udah pulang? Udah lama ya?" tanyanya dan duduk di samping Arga.

"Baru aja. Kamu dari mana dear? Enggak biasanya jam segini pergi," jawab sekaligus tanya Arga.

Panggilan khusus Arga untuknya kadang membuat kedua pipi Alia merona.

"Tadi habis ketemu temen Mas, aku mampir ke toko rotinya. Sekalian belanja," jawab Alia sembari menunjukan beberapa barang belanjaannya.

Tadi setelah bertemu dengan Erna di taman, Alia memang sempat belanja bulanan. Jadi, ia tidak perlu pusing mencari alasan karena keluar rumah.

Arga mengangguk saja, ia mengambil handphone miliknya yang berdering dan ternyata dari sekretarisnya.

"Kamu bisa kirimkan ke saya setelah ini dan tolong kosongkan jadwal saya untuk tiga hari ke depan,"

"Baik,"

Arga menutup teleponnya dan menaruhnya kembali di atas meja.
Alia juga tengah memainkan handphonenya. Sadar Arga menatapnya perlahan Alia meletakkan juga handphonenya di dekat handphone milik Arga.

"Mas aku ke kamar mandi dulu ya," kata Alia, Arga mengangguk.

Setelah menunggu lama Alia tidak kembali Arga memilih masuk juga ke dalam rumah dan membawa barang belanjaan sang istri untuk ia antar ke dapur.

"Bik ini belanjaannya," ucap Arga pada bik Yem.

Meletakkan belanjaan di atas meja. Bik Yem sampai mengerutkan kening melihat Arga memasuki dapur apalagi membawa belanjaan seperti ini. Tidak pernah sekali pun Arga lakukan semenjak ia bekerja di rumah ini.

"Oh iya Bik, kalau ada yang kurang nanti aja tanyanya sama Alia. Sekarang kita mau istirahat dulu, tolong jangan ada yang ganggu ya," kata Arga  yang tentu saja membuat Bik Yem mengangguk patuh.

"Iya Tuan," kata Bik Yem.

Duda Tampan (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang