Empat Puluh Delapan

12.5K 713 10
                                    

Happy reading ❤️

"Nanti kita main aja sama-sama, Ella kan rumahnya deket sama rumah Rara. Jadi nanti Ella datang aja," kata Rara. Ella mengangguk setuju.

"Ella mau coba nggak sayur Rara. Ini yang buat Mamanya Rara loh," tawar Rara sambil memperlihatkan bekal yang ia bawa pada Ella.

"Kan Rara bawanya sikit. Kalo dikasih ke Ella nanti Rara gimana? Atau Rara mau makan punya Ella aja. Ini yang buat Mama Ella loh," kata Ella.

"Boleh, deh." Mereka saling menukar bekal dan menikmatinya sambil berceloteh ria, layaknya orang dewasa yang berbincang.

****

Di depan pintu berdiri seorang laki-laki yang membelakangi mereka. Alia pun ikut melihat ke arah pintu. Dahinya mengernyit melihat punggung lelaki itu, ia seperti mengenalnya terlebih lagi rambut bagian belakang yang sangat ia kenal. Alia bangun dari baringannya dan duduk dengan manis di sofa.

"Ada apa," kata Arga.

Pria itu tadi membalikkan badannya menatap Arga yang sudah berjalan santai ke arah meja kerjanya dan duduk di kursi kebesarannya.

Nafas Alia tercekat di tenggorokan melihat siapa pria itu.  Pantas saja ia sangat mengenal baik punggungnya tadi ternyata itu adalah orang yang sangat ia kenal.

Pria itu sempat menoleh padanya dan menampilkan senyum manis seperti biasa.
Sebelum berdiri di samping Arga dan memberikan map berisi berkas yang harus Arga tanda tangani.

"Oke. Nathan setelah ini tolong suruh OB untuk membuatkan teh manis, dan langsung antar ke sini, ya."

Orang yang ternyata Nathan itu mengangguk.

"Ehem,"

Alia sengaja berdehem untuk merebut perhatian dua pria tampan di depannya itu. Benar saja, keduanya langsung menoleh pada Alia yang masih duduk dengan santai di sofa.

"Mas, ini maksudnya apa? Kenapa Nathan...,"

"Kenapa Nathan ada di sini?" tanya Arga dengan senyum menawannya. Alia mengangguk tanpa menjawab.

"Ya karena sekarang Nathan jadi sekretaris aku, saat kamu pergi dari rumah waktu itu perusahan tempat Nathan kerja bangkrut jadi semua pekerja di phk," kata Arga.

"Terus, dan aku mau kali ini Nathan yang jawab," tegasnya Alia layaknya seorang pembesar di ruangan Arga ini.

Tapi bukankah begitu? Bukankah ia memang seorang ratu bagi Arga?  Jadi tidak salah jika ia berkata seperti itu.

"Setelah itu, saya ketemu Pak Arga dan awalnya Pak Arga marah ke saya karena pernah dekat dengan Buk Alia. Tapi setelah mendengar penjelasan saya kalo saya dan istri Pak Arga adalah sahabat jadi Pak Arga juga menganggap saya sebagai sahabatnya Buk."

Penjelasan Nathan membuat Alia menarik sedikit ujung bibirnya membentuk senyuman. Merasa lucu pada Nathan yang berbicara dengan nada formal.

"Saya cerita sama Pak Arga kalau saya kena phk dan pengangguran jadi  Pak Arga nawarin saya untuk jadi sekretarisnya," lanjut Nathan.

Alis mengangguk dan terkekeh.

"Lucu banget sih lo Nath kalau ngomong formal gitu. Haha,"

Alia tidak bisa menahan tawanya lagi.

"Ya, lo tau kan Al, ini di kantor jadi ya gue ngomong formal, dong."

"Haha iya, deh. Berarti gue jadi bos lo dong sekarang," kata Alia dengan wajah bangganya.

"Ya enggak lah. Orang gue kerjanya sama Pak Arga bukan lo," jawab Arga dengan santai.

"Mas Arga itu suami gue kalo lo lupa," kata Alia sambil menyilangkan kedua tangan bersedekap di dada.

"Iya gue tau, tapi ogah gue manggil lo bos. Kadar ketampanan gue bisa turun ntar," jawab Arga lagi.

"Apa hubungannya coba. Btw menurut gue nih, ya. Lo itu nggak ganteng, lebih ganteng laki gue kemana-mana," ujar Alia lagi.

Wanita mana mau kalah kalau soal adu mulut.

"Sekarang aja lo bilang begitu. Dari dulu gue yang selalu lo puji, kan?" kata Nathan dibalas peletan lidah oleh Alia.

Nathan pamit pada Arga untuk keluar dari ruangannya tanpa menghiraukan lagi segala jenis ocehan tidak mengenakkan dari mulut manis Alia.

"Ihh Nathan, kok jadi nyebelin gitu sih."

Alia bangun dari duduknya dan menghampiri Arga yang sedari tadi memperhatikannya. Mendudukkan bongkahan bulatnya pada salah satu paha Arga dan menyandarkan punggungnya pada dada bidang suaminya itu.

Arga sama sekali tidak protes bahkan ia langsung melingkarkan tangannya pada pinggang Alia dengan erat. Tubuh Alia terasa sangat pas berada dalam pelukannya.

"Jangan gerak-gerak Dear, yang di bawah nanti bangun," bisik Arga.
.
Ia kembali menatap pada tumpukan kertas yang tadi tertunda. Melanjutkan pekerjaannya dengan Alia di dalam dekapannya.

"Mas, aku boleh tidur di sini enggak? Pingin tidur kamu peluk," pinta Alia. Arga mengangguk dan mengecup kening sang istri.

Pintu ruangan itu diketuk. Setelah mendapat perintah untuk dibuka ternyata yang datang adalah OB, membawa secangkir teh manis pesanan Arga tadi.

Arga meletakkan jari telunjuknya pada bibir, sebagai kode agar OB itu tidak bersuara, karena takut Alia terbangun padahal wanitanya itu baru saja tidur, pria yang bekerja sebagai office boy itu langsung meletakkan cangkir teh pada meja Arga. Menundukkan sedikit kepalanya sebagai ganti kata pamit pada Arga untuk meninggalkan ruangan Arga.

"Maaf ya Dear, Kerjaan aku masih banyak banget. Jadi, kamu tidurnya di ranjang Sayang."

Arga membawa tubuh Alia yang sudah terlelap ke dalam kamar berukuran sedang di dalam ruangan kerjanya. Biasanya tempat ini ia gunakan untuk sekedar melepas penat, karena pekerjaan yang menguras tenaga sekaligus pikiran.

Ia rebahkan dengan sangat hati-hati Alia ke atas kasur. Seolah tubuh Alia akan remuk jika sedikit saja ia berlaku kasar pada sang istri. Setelah Alia nyaman degan posisi tidurnya yang terlentang, Arga merapikan sedikit poni Alia yang berantakan. Kemudian melabuhkan bibirnya pada kening luas Alia dengan lembut.

"Tidur yang nyenyak Dear. I love you my darling," kata Arga.

Tangannya terulur menyentuh perut Alia yang tengah tumbuh calon bayinya di sana. Menyibak sedikit baju Alia di bagian perut dan mengusap dengan lembut kulit perut yang masih datar itu. Bahkan belum ada tonjolan di sana.

"Kesayangan Papa, jagain Mama ya Nak. Kamu pasti suruh Mama tidur, ya. Biar bisa istirahat. Memang anak Papa pinter banget," ucap Arga dan tidak lupa untuk mengecup tempat di mana anaknya itu berada.

Arga bergerak menyelimuti tubuh Alia hingga pinggang. Mencium kening dan seluruh wajah Alia sebelum beranjak pergi dari sana. Membiarkan pintu kamar itu terbuka, agar ia bisa dengan mudah melihat Alia jika istrinya bangun nanti.

Untuk hari ini Rara akan di jemput oleh supirnya saat pulang sekolah nanti. Alia merengek untuk ikut dirinya ke kantor tadi pagi. Jadi tidak mungkin jika ia menyuruh Alia untuk pulang dan menjemput Rara dari sekolah terlebih  istrinya itu juga dalam keadaan membawa janin yang sangat harapkan.

Duda Tampan (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang