Lima Puluh sembilan

13.2K 692 41
                                    


***

Risa mengusap perutnya yang terlihat sedikit membuncit karena kehamilannya sudah memasuki bulan keempat. Ia memakai baju yang sedikit ketat sehingga terlihat jelas perutnya. Pakaian yang dibelikan Alvan untuknya sangat banyak. Ia tidak meminta bahkan ia sempat menolak tapi pria itu bersikeras memohon agar Risa menerima semuanya.

Malam ini ada Alvan di sini. Pria itu baru saja pulang kerja dan langsung ke sini. Mereka sudah makan malam bersama, Mbok Yem benar-benar menganggapnya sebagai sahabat dari Alia, sedikit pun Mbok Yem tidak mengharapkan Risa untuk membersihkan rumah atau mengerjakan apa pun.

Terlebih Mbok Yem mendapat amanah dari Alvan untuk menjaga Risa dan kandungannya. Pria itu juga selalu memberi uang kepada Mbok Yem sebagai tanda terima kasih karena telah menjaga Risa. Padahal Risa sendiri tidak meminta, tapi Alvan memang susah untuk tidak diindahkan.

"Gue belum bisa jujur Ga, gue nggak siap kalo nanti Risa ninggalin gue."

Risa mengerutkan dahinya mendengar suara Alvan yang sedang menerima telpon. Ia baru keluar dari kamar karena mengambil ponsel miliknya. Mendengar Alvan menyebut namanya, Risa memilih berdiam diri di samping tembok pembatas antara ruang tengah dan ruang tamu.

"Iya gue tau, tapi gue nggak siap kalau nanti Risa bakal ninggalin gue setelah tau semuanya Ga."

Pikiran Risa semakin tidak bisa jernih. Rasa penasaran seketika menghampirinya. Apa maksud Alvan, sebenarnya apa yang Alvan sembunyikan darinya. Kedua tangannya melekat pada tembok dan telinga yang ia pasang dengan baik agar berfungsi dengan baik juga, sehingga bisa mendengar dengan jelas ucapan Alvan.

"Maafin gimana? Mungkin dulu Risa punya cita-cita yang ingin ia raih, tapi semua sirna karena gue yang enggak sengaja udah kotori dia."

Deg!

Risa menutup mulutnya sendiri dengan telapak tangan, agar suara tangisnya tidak keluar dan terdengar oleh Alvan. Sebelah tangannya mengusap perutnya. Semua yang ia dengar dari mulut Alvan seolah adalah jawaban yang selama ini ia cari. Pria yang telah mengotorinya adalah Alvan. Itu berarti yang tengah ia kandung ini adalah ... anaknya Alvan?

Risa mengusap air matanya dan berjalan mendekati Alvan, yang duduk di sofa dengan arah membelakanginya.

"Udah dulu, ya Ga. Gue lagi di rumah lho sama Alia yang di sini. Takutnya nanti Risa denger, bisa-"

"Aku udah denger semua Mas," kata Risa dengan suara serak.

Alvan membeku mendengar suara Risa. Ia matikan ponselnya yang masih tersambung dengan Arga dan membalikkan badan.

Pandangannya langsung mengarah pada tatapan terluka yang ada di wajah Risa. Wajah yang sekarang terlihat putih bersih tanpa adanya belang lagi itu menunjukan raut sedih, bahkan ada jejak air mata di pipinya.

"Ris-"

"Mas ... Mas Alvan. Ternyata selama ini yang udah membuat aku hamil itu kamu Mas?"

"Pantas aja, Mas mau nerima anak yang aku kandung ini. Kenapa Mas Alvan enggak ngomong dari awal? Mas tau, sejak tau aku hamil. Ibu dan Ayah membuka rahasia besar tentang aku. Mereka ternyata bukan orang tua aku. Mereka yang enggak punya anak dari awal menikah menculik aku dari pas aku masih bayi dan belum ingat apa-apa, semua itu mereka bongkar karena mereka malu aku hamil di luar nikah."

Risa dengan cepat memasuki kamarnya meninggalkan Alvan yang masih mematung di sana. Alvan bisa melihat sesekali Risa menyeka air matanya. Alvan tidak menyangka jika kehidupan Risa ternyata semalang itu. Ternyata Risa bukan anak kandung orang tuanya yang di Bandung itu, dan kehadirannya semakin menghancurkan hidup wanita itu.

Alvan mengacak rambutnya kasar. Merasa sebal terhadap dirinya sendiri yang hanya bisa membuat Risa merasa sakit lagi setelah ternyata wanita itu nyaris tidak mendapat kebahagiaan.

***

Alia menatap jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Sudah menunjukan pukul sepuluh malam, tapi belum ada tanda-tanda Arga akan pulang. Sesekali Alia membuka horden jendela, mengintip ke luar. Tetap saja tidak ada mobil Arga di sana. Ia jadi cemas sendiri. Tidak biasanya seperti ini. Arga biasanya pulang jam lima sore, jika lembur pun maka tidak akan lewat dari jam sembilan malam.

Alia menutup mulutnya yang menguap. Sudah kesekian kalinya wanita hamil itu mengantuk. Matanya sudah tidak bisa diajak kompromi lagi.

Ia menghampiri tempat tidur dan merebahkan tubuh di sana. Ingin menunggu Arga di ruang depan, tapi ini terlalu beresiko untuk janinnya. Bukannya senang yang ada Arga akan marah lagi nanti. Marah yang kemarin saja belum reda. Sanking mengantuknya Alia sampai terlelap tanpa sempat menarik selimut untuk dirinya sendiri.

Dua jam setelahnya, di mana pukul dua belas malam kurang lima menit. Pintu kamar dibuka oleh Arga. Ia tersenyum melihat sang istri yang tertidur tanpa selimut dan dengan keadaan meringkuk.

Mata wanitanya masih sembab, mungkin Alia tidak berhenti menangis dari kemarin. Pasti istrinya itu juga khawatir karena ia belum pulang di saat menjelang tidurnya.

Arga meletakkan sesuatu yang ia bawa ke atas meja dan duduk di samping Alia yang tidur pulas. Tangannya terulur mengusap pipi kanan Alia yang tidur miring kiri. Puisi yang terasa lembut. Ia beri kecupan di pelipis Alia dengan sayang.

Ia rindu Alianya, Arga juga bisa merasakan jika Alia merindukannya. Pesan singkat yang Alia kirim sebagai bukti istrinya itu merindukan dia. Sedih bercampur haru ia membaca pesan itu. Sedih karena ia harus berpura-pura menjadi suami yang tidak berperasaan dan haru karena dalam keadaan ia marah pun Alia masih mau menyuarakan kerinduannnya.

Untuk part 60 sampai 65 silahkan baca di Karyakarsa ya.
Cari nama kreator "Mentarii"

Enaknya di Karyakarsa itu nggak harus download/unduh aplikasi loh ... Bisa dibuka lewat web di google.

Duda Tampan (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang