Lima Puluh Delapan

10.8K 757 14
                                    


Alia mengerjapkan matanya saat sinar matahari masuk menerobos melalui celah kamarnya. Ternyata sudah pagi, Alia menatap lirih tempat tidurnya yang kosong. Biasanya setiap ia bangun pagi. Ia bangun dengan keadaan dalam pelukan Arga. Namun, tidak untuk pagi ini. Pagi ini ia bangun sendiri.

Air matanya mengalir lagi, mengingat sikap Arga tadi malam yang menurutnya sangat aneh. Menyibak selimut, Alia bangun dari tidurnya dan bergegas membersihkan diri.
Setelah selesai, Alia menyiapkan baju Arga untuk enggak kantor seperti biasa.

"Hem, sekarang kita masak dulu buat Papa.ya Sayang, besar harapan Mama untuk bisa bicara seperti biasa sama Papa. Anak Mama jangan rewel, ya. Nanti ketemu Papa, kok. Maaf Sayang, kalo tadi malam kita nggak bobok sama Papa. Mama juga enggak tau Papa kenapa. Mungkin Papa lagi capek aja, makanya kaya gitu,"

Alia terus mengajak calon bayinya bicara. Setelah itu ia turun ke bawah untuk menyiapkan sarapan Arga. Karena Arga yang biasa makan nasi, jadi Alia setiap pagi masak lauk sedangkan untuk nasinya sudah dimasak oleh Bik Imah.

Rasa nasi akan selalu sama, walau siapa pun yang memasaknya. Tetap hambar karena tidak mungkin dikasih garam. Beda dengan sayur, lain orangnya lain pula rasanya. Lain cara olehnya dan lain juga hasilnya.

Tepat di ujung anak tangga, Alia melihat Arga yang keluar dari kamar tamu dengan wajah yang sudah segar. Pria itu juga sudah menggunakan handuk. Sepertinya Arga selesai mandi. Alia sengaja berdiri di ujung anak tangga paling bawah dan menunggu Arga yang pasti melewati tangga untuk menuju kekamar mereka.

Arga menghela nafas kasar melihat Alia yang ada di sana.  Ia berjalan sembari menggosok rambutnya debgan handuk kecil tanpa memperdulikan Alia sedikit pun. Jangankan untuk menegur atau menyapa dengan suara yang manis seperti biasa, melihat pun tidak. Padahal ia tahu ada Alia dan calon anaknya di sana, tapi dengan teganya Arga melewati mereka untuk menaiki tangga. 

Tidak bisa ditahan lagi, air mata Alia melaju dengan deras membasahi pipi.
Sedikit segugukan ia mendudukkan dirinya pada anak tangga. Menangis, menjatuhkan air bening yang sejak tadi ia tahan hingga penglihatannya sedikit buram.

"Jangankan untuk nyapa dan kasih aku ciuman di kening seperti biasanya, bahkan sekedar melihat aku pun enggak. Segitu sakitnya hati kamu Mas? Maafin aku. Aku bukannya enggak peduli sama kamu, aku cuma temani Rara kemarin Mas," lirih Alia sambil menyeka air matanya.

"Non, Non Alia ngapain duduk di anak tangga begitu Non? Non Alia nangis?" ucap Bik Imah yang datang dengan kemoceng di tangannya.

Alia mengusap sisa-sisa air matanya dan mencoba tersenyum pada Bik Imah. Ia juga bangun dari duduknya.

"Enggak kok Bik. Aku enggak papa, aku ke dapur dulu, ya. Mau siapin sarapan buat Mas Arga," kata Alia. Tanpa menunggu jawabnya Bik Imah, ia melangkah menuju dapur.

Sementara Arga sendiri merasa tidak tega melihat Alia yang sedih. Tadi jelas sekali ia lihat raut sedih setamat sembab sang istri. Pasti tadi malam menangis sepanjang malam. Sebenarnya Arga juga hampir tidak bisa tidur tadi malam.

Ia dan Alia dua orang yang saling ketergantungan satu sama lain. Jadi sudah bisa dipastikan jika tadi malam ia dan Alia sama-sama sulit untuk tidur. Alia yang biasa tidur dalam pelukannya tadi malam ia biarkan untuk mendekam tidur sendirian di kamar. Sekitar jam tiga pagi Arga sempat masuk ke kamar ini untuk melihat Alia. Setelah itu ia kembali lagi ke kamar tamu dengan tidak lagi mengunci pintu kamarnya.

Arga mendekati tempat tidur, di sana sudah ada pakaian yang disiapkan oleh Alia. Dalam keadaan yang sedih pun wanitanya itu masih perhatian padanya.

"Kamu memang istri terbaik sedunia Al. Maaf Dear, kalau aku harus lakuin ini. Untuk sekarang aku pake baju yang lain ya Al,"

Alia menyajikan nasi goreng buatannya di atas meja. Sengaja ia taruh di piring untuk Arga sembari menunggu Arga turun. Wajahnya seketika berubah sedikit lagi saat Arga memasuki ruang makan. Pasalnya pria itu tidak memakai pakaian yang tadi ia pilih. Semarah itukah Arga, sampai pakaian yang sudah ia sediakan pun Arga tidak mau memakainya.

Arga duduk di kursi yang biasa ia pakai dan langsung memakan nasi goreng yang tersedia di depannya. Ia makan dalam diam dan tanpa melihat pada Alia. Alia melihat Arga dengan lirih dan mata berkaca-kaca. Ia bahkan tidak bernafsu untuk memakan sedikit pun masakannya.

Alia memasang sedikit senyum pada Rara yang sedang lahap dengan nasi gorengnya. Sambil sesekali mengusap rambut Rara lembut.

"Makan," kata Arga singkat dan datar. Alia tau itu ditujukan padanya.

"Aku nggak lapar Mas, aku bisa makan nanti kalo udah laper," jawab Alia pelan.

Padahal biasanya ia selalu sarapan pagi meski itu sedikit.
Arga hanya diam seraya menikmati sarapannya yang terasa sangat enak. Setelah selesai Arga meletakkan gelas bekas air minumnya pada meja.

"Rara, tunggu Papa di mobil, ya. Papa mau bicara sama Mama," kata Arga.

Rara mengangguk. Setelah memasukkan bekal yang disediakan Alia untuknya. Rara menyalami Alia dan mengecup pipi wanita cantik itu kemudian pergi dari ruang makan.

"Kalo kamu enggak makan, anak aku mau dikasih apa? Biarin dia kelaparan?" ketus Arga menatap tajam Alia.

Alia sendiri menahan nafas yang terasa amat sesal mendengar ucapan Arga yang seolah tidak peduli padanya.

Duda Tampan (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang