Enam Puluh Tujuh

10.9K 614 10
                                    

"Serius kamu udah ngomong sama keluarga kamu tentang keadaan aku Mas?" tanya Risa dengan wajah yang seperti tidak percaya.

"Iya. Awalnya seperti yang kita bayangkan kalau mereka kaget tapi setelahnya mereka nerima, bahkan Mama langsung nyuruh aku buat ajak kamu tinggal di rumah. Tapi Papa bilang nanti aja kalau udah nikah. Takut kau nggak konsen kerja," jelas Alvan.

Dahi Risa menggerut.

"Kenapa enggak konsen? Berarti aku ganggu kamu, dong nanti."

Risa ikut manatap pada Alvan. Alvan terkekeh dan mengusap rambut Risa.

"Sebelum nikah enggak boleh, kalo udah nikah pasti udah boleh, dong. Mana ada istri yang ganggu suami."

Risa tersenyum dan menyandarkan kepalanya pada bahu Alvan.

Mereka tiba di depan sebuah yang layaknya disebut istana. Sanking indah dan megahnya rumah itu. Lagi-lagi Risa menatap Alvan dengan tatapan yang ... entahlah. Meski rasa ragu itu sudah tidak ada tapi tetap saja Risa gugup.

Alvan menggenggam tangan Risa guna menyalurkan rasa hangat dan seolah ingin menghilangkan rasa gugup dari kekasih yang sebentar lagi menjadi istrinya itu. Memberi senyuman yang kira-kira bisa memberi ketenangan pada Risa. Setelah menghela dan menghembuskan nafas panjang, keduanya melangkah bersama menuju pintu utama rumah Alvan.

"Eh, Den Alvan. Ayo atuh masuk Den. Bapak sama Ibuk sudah nunggu di ruang tamu," kata seorang paruh paya dengan daster yang melekat pada tubuhnya.

Tersenyum sopan pada Alvan dan Risa. Risa pun melakukan hal sama.

"Iya Bik, ayo Sayang."

Alvan menggandeng tangan Risa dan mereka masuk bersama ke rumah mewah milik keluarga lelaki itu.

"Wah, ini dia yang ditungguin dari tadi." 

Arum, ibu dari Alvan langsung menyambut mereka dengan hangat. Ia bahkan langsung berdiri dan mendekat pada Alvan. Mencium puncak kepala putranya yang sedikit menunduk.

Matanya beralih pada wanita cantik di samping putranya itu. Melirik sedikit pada Alvan, melihat kepala putranya itu mengangguk, Arum langsung memeluk Risa tanpa aba-aba bahkan ia memeluk erat.

Tubuh Risa yang semua gugup pun rasanya semakin menghangat saat mendapat pelukan mendadak dari Arum.

Setelah melepas pelukannya, Arum menangkup wajah Risa dan menatapnya lembut. Wajah Arum sampai berkaca-kaca.

"Alvan udah cerita semua sama Mama tentang hubungan kalian," ujar Arum.

Wanita itu juga memanggil dirinya mama pada Risa. Risa tidak tau apa yang ia rasakan. Dadanya menghangat saat ibu dari kekasihnya itu menyambutnya dengan hangat pula.

Tidak ada drama memicingkan mata dan disuguhi tatapan sinis serta mendapat sindiran baik itu secara halus maupun secara kasar.
Risa jadi berpikir positif, bibirnya terangkat membentuk senyuman. Rasa gugupnya sejak tadi menghilang entah kemana.

"Maafin Alvan, Sayang. Maafin Alvan karena udah buat kamu kaya gini dan baru bertemu kamu sekarang."

"I ... iya Buk," jawab Risa pelan.

Arum tersenyum dan merangkul pundak Risa menuju sofa yang tengah diduduki oleh suaminya, Tomi.

"Panggil Mama, ya. Kamu sebentar lagi bakal jadi istrinya Alvan. Jadi, kamu juga harus panggil Papa dan Mama," kata Arum yang diangguki oleh Risa.

Mereka saling memperkenalkan diri dan saling bercerita satu sama lain. Risa sampai tidak percaya jika kedatangan ternyata sangat dihargai dan disambut dengan senang hati oleh keluarga Alvan.
Tomi, sudah izin untuk ke kamar. Papa dari Alvan itu mengeluh sakit perut, asam lambungnya tengah kambuh saat ini.

Duda Tampan (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang