Lima Puluh Tujuh

10.6K 734 12
                                    

"Mas kenapa? Mukanya kok ditekuk gitu?" tanya Alia heran.

Pasalnya Arga jarang memasang wajah yang masam jika sedang bersamanya. Alia bisa menebak jika Arga baru saja mandi, terbukti suaminya itu hanya memakai kimono handuk atau bathrobe berwarna putih.

"Kamu dari mana aja, jam segini baru masuk kamar? Lupa kalo udah punya suami?"

ucapan bernada sindiran itu membuat Alia menatap heran pada Arga dengan dahi mengerut. Apa maksud suaminya ini. Kepala Alia ia palingan pada meja yang ada di dekat tempat tidur. Lebih tepatnya pada jam kecil yang berada di atas meja itu. Pukul sepuluh malam.

"Mas ngomong apa sih? Aku tuh dari kamar-"

"Dari kamar Rara?"

Alia mengangguk. Ia memang baru saja membaca dongeng untuk putrinya itu setelah selesai memeriksa tugas yang Rara kerjakan.

"Aku butuh kamu Al. Bukan cuma Rara, aku juga butuh kamu layani kaya biasanya. Hari ini kamu nggak ada peduli sama aku. Kamu seakan lupa kalo aku itu suami kamu," ujar Arga dengan alis menjambak rambutnya pelan.

Nafasnya memburu dan nada bicaranya terdengar marah.

Alia mengerutkan dahinya mendengar ucapan Arga. Arga marah hanya karena semenjak ia pulang dari kantor tadi Alia berada di kamar Rara dan menemani putrinya itu untuk belajar bermain bersama.

"Mas, aku minta maaf. Aku bukannya enggak peduli sama Mas Arga, tapi aku tadi lagi bantuin Rara ngerjain tugasnya Mas dan-"

"Lupa sama suami yang pulang dari kantor. Lupa kalau suamimu ini selalu butuh kamu sebagai obat menghilangkan penatnya. Iya?" potong Arga cepat.

Alia menggeleng, ia berjalan mendekat pada Arga, tapi langkahnya terhenti karena Arga memberi kode untuk menyuruhnya berhenti.

"Aku mau sendiri Al. Kamu istirahat, aku tidur di kamar tamu."

Alia membolakan matanya. Tidak ingin percaya dengan ucapan Arga, tapi pria itu sudah beranjak keluar dari kamar. Alia tidak bisa berkata apa-apa selain diam. Bibirnya seakan terkunci. Membiarkan Arga melewatinya dan pergi dari kamar.

Setelah beberapa menit diam dengan keadaan mematung, Alia baru sadar jika ini tidak benar. Ia perlu bicara dan meluruskan semuanya dengan Arga. Alia mengusap pipi yang sudah basah. Air matanya akan selalu sensitif jika berhubungan dengan Arga.

Alia membalikkan badannya ingin menyusul Arga. Saat akan membuka pintu dengan memutar handle pintu, Alia mengernyit. Pintu dikunci oleh Arga dari luar. Akhirnya Alia kembali ke tempat tidurnya. Sampai segitunya Arga tidak ingin bertemu dengannya. Pria itu bahkan sampai mengunci pintu agar Alia tidak bisa menemuinya. Sebenarnya ada apa dengan suaminya itu.

"Maafin aku Mas," lirih Alia.

Air matanya tumpah seiring kesedihan yang menjalar pada ulu hatinya. Alia terisak merasakan sesak di dadanya mengingat tingkah dan perkataan Arga tadi. Ia usap perutnya dan mengajaknya berbicara.

"Sayang, tolong bilang sama Papa kalo Mama kangen. Kamu juga kangen sama Papa, kan. Ayo Sayang bilang sama Papa, hiks."

Alia terisak terisak sambil berbicara pada calon bayinya. Ia rebahkan  tubuhnya pada tempat tidur. Mungkin  karena terlalu lelah menangis Alia tertidur dengan lelap.

***

"Mas Alvan, yakin sama hubungan kita? Aku lagi hamil loh Mas, dan-"

"Kenapa harus nggak yakin? Aku yang akan jadi ayah untuk anak ini kelak Ris. Setelah kamu lahir aku akan nikahin kamu. Aku janji Sayang," kata Alvan sambil menatap mata Risa dengan intens.

Ini sudah seminggu mereka menjalin hubungan. Selama bersama Alvan, perasaan Risa selalu tenang. Tidak tau rasa mual dan sakit perutnya langsing berhenti jika diusap oleh Alvan.
Risa tidak bisa memungkiri lagi hina benih cinta itu kini tumbuh untuk Alvan.

"Mm ... Mas," panggil Risa.

Matanya masih bersitatap dengan Alvan.

"Hem?"

Alvan mengusap pipi Risa dan membuat wanita itu gugup setengah mati.

"Ada apa sayang?"

Risa merona mendengar kata sayang yang digunakan Alvan untuk memanggilnya.

"Akubolehnggakpelukmasalvan," kata Risa dengan sekali tarikan nafas, bahkan dia sendiri pun tidak bisa mengerti arti ucapannya jika tidak ia keluarkan dari hati. Alvan mengerutkan keningnya tidak mengerti sama sekali.

"Kamu bicara apa, sih. Aku mana bisa ngerti kalau kamu ngomongnya aneh begitu,"

Risa menghela nafas dengan bahu yang merosot.

"Mau bilang apa, sih?" tanya Alvan lagi. Pria itu bahkan sampai mendekatkan dirinya pada Risa, hingga bahu mereka berbenturan.

Risa menarik nafas dalam. Ingin mengatakan tidak ada, tapi hatinya sangat ingin dan bisa jadi masalah untuk pikiran jika keinginannya ini tidak tersampaikan.

"Emm-" gumam Risa tidak jelas.

Alvan  masih memperhatikannya dengan intens dan wajah penasaran.

"Aku ... aku ... aku boleh nggak peluk Mas?" ungkap Risa terbata dengan kepala yang menunduk.

Sumpah ia malu setengah mati dan semakin merasa gugup saat Alvan mengangkat dagunya.

"Kalo ngomong itu, natap sama orangnya. Emangnya kamu ngomong sama lantai?" ucap Alvan.

Risa menatap ke segala arah dengan tidak menentu. Tidak berani manatap pada mata Alvan.

"Ya, kalau enggak boleh juga engak apa-apa Mas, aku pun enggak tau kenapa pingin banget peluk Mas Alvan" kata Risa dengan lesu.

"Maunya yang di dalam perut kali,"

celutuk Alvan sembari sedikit terkekeh dan tanpa aba-aba menarik tubuh Risa hingga jatuh ke dalam pelukannya.
Risa membulatkan matanya saat ternyata Alvan yang memeluknya. Ah, kenapa rasanya sangat nyaman berada dalam pelukan pria ini.

Duda Tampan (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang