Empat Puluh Sembilan

12.1K 693 2
                                    

Jangan lupa vote dan tinggalkan komentar
.
"Rara tidur sama Mama lagi, ya Ma."

Rara berucap sambil duduk di samping Alia yang sedang menyusun beberapa buku milik Rara.

Wanita cantik itu menoleh pada Rara, tidak lupa memberikan senyuman manisnya yang selalu tersemat di bibir indahnya.

"Memangnya Rara belum berani tidur sendiri? Kan Rara cuma mimpi Sayang," kata Alia lembut.

Bocah itu mengerucutkan bibirnya. Lalu memeluk perut Alia. Alia yang merasa gemas pun tersenyum dan membalas pelukan Rara seraya mengecup puncak kepala gadis kecil itu.

"Ya udah, deh Ma. Rara mau bobok sendiri tapi Mama temenin sampe Rara beneran tidur ya," kata Rara. Alia menganggukan kepalanya dan mengusap rambut sang anak.

"Sini Sayang, tidur ya. Mama sayang sama Rara."

Alia mengecup kening Rara dan ikut berbaring di sebelahnya.  Mengusap rambut Rara sampai gadis kecil yang manis itu benar-benar terlelap.
Baru setelahnya Alia pindah ke kamarnya.

Arga menoleh pada Alia yang baru membuka pintu kamar. Wanita itu membuka kimononya menyisakan gaun tidur yang terlihat sangat menggiurkan bagi mata Arga. Apalagi warna hitam pada gaun itu sangat kontras dengan kulit mulusnya yang putih bersinar.

Wanitanya itu melemparkan senyum padanya. Selanjutnya Alia menghampiri meja rias. Melepas anting yang sejak pagi berada di telinganya. Rara paling tidak suka tidur dengan menggunakan aksesoris apapun kecuali cincin yang melingkar indah di jari manisnya. Cincin pernikahannya dengan Arga. Alia menyisir rambutnya dan membiarkannya tergerai indah sampai ke bagian punggung.

"Udah cantik," bisik Arga tepat di telinganya.

Entah kapan pria itu turun dari tempat tidur hingga kini sudah berada di belakang Alia, memeluk Alia dengan erat dan menatap mata istri lewat pantulan cermin.

"Hehe aku emang cantik dari lahir Mas," jawab Alia sedikit membanggakan diri.

Lagian apa yang ia bilang tidak salah. Tidak mungkin ia bisa secantik ini jika tidak sedari kecil juga ia sudah cantik. Sepertinya Alia adalah titisan para dewi-dewi yang cantiknya tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

"Geli Mas," ujar Alia saat Arga mengendus hidungnya pada leher dan dagu Alia.

Mengecup di bagian sensitif istrinya itu. Arga dalam posisi sedikit membungkuk karena Alia duduk di kursi riasnya.

"Geli tapi suka," jawab Arga semakin mengeratkan lilitan tangannya pada tubuh Alia.

Alia meraih pipi Arga yang kini sudah bertumpu dagu pada pundak polosnya, hanya ada seutas tali kecil di sana. Tali gaun tidur yang menahan kain itu agar tidak melorot jatuh.

"Suka dong, kan Mas Arga ganteng. Gak bisa bayangin aku Mas kalau nanti anak kita lahir. Pasti dia ganteng banget kaya Papanya,"

"O iya dong, Papanya ganteng begini gimana anaknya. Apalagi Mamanya juga kayak bidadari," kata Arga.

Arga menempelkan pipinya pada pipi Alia dan saling menatap lewat pantulan cermin.

"Sombong banget Pak," sindir Alia sambil terkekeh pelan karena sebelah tangan Arga yang sudah bermain dengan salah satu bukit kembarnya. Menaiki pusara yang menjulang tinggi itu.

"Mas, jangan."

Arga mengerutkan keningnya heran, tidak biasanya Alia menolaknya untuk berhubungan.

"Kenapa Dear? Kok enggak boleh, kan kamu istri aku," tanya Arga dengan wajah yang sengaja semakin di dekatkan pada wajah Alia.

"Ak ... aku ... aku lagi haid Mas," jawab Alia terbata berharap Arga percaya.

Matanya melirik pada cermin dan jelas ia lihat jika suaminya itu mengangkat sebelah alisnya dan mengangguk dengan wajah mengejek. Alia mengerutkan dahinya, tidak percaya dengan respon Arga. Seketika ia mengaduh karena Arga menjitak pelan keningnya.

"Awww sakit Mas, kenapa dijitak, sih!" Sungutnya dengan wajah sebel.

"Habis kamu, udah tau nggak ada bakat jadi tukang bohong masih aja mau coba bohongin aku,"
kata Arga terkekeh dan mengusap kening Alia yang tadi ia jitak.

"Apa sih Mas, aku nggak-"

"Kamu lagi hamil Dear, Kalau kamu lupa."

Alia langsung bungkam. Arga mengacak rambutnya hingga terlihat kasur lagi. Yah, niatnya menghindar untuk malam ini ternyata gagal total. Lagian kenapa ia tidak berpikir dulu tadi jika ia tengah mengandung anak dari Arga, yang sudah pasti Arga tau jika wanita hamil tidak mengalami menstruasi.

"Ngapain menghindar, sih? Kalau emang kamu enggak mau juga aku nggak papa kok. Lagian aku juga ngerti kalau kamu itu capek dan saran dokter juga jangan keseringan karena kehamilan kamu masih rentan. Aku ngerti Dear," kata Arga lembut. Alia tersenyum dan mengelus pipi Arga.

"Makasih Mas, aku bukan mau ngehindar, kok. Aku cuma khawatir aja sama anak kita. Aku mau bilang gitu sama kamu, tapi takut kamu kecewa dan malah mikir kalau aku cuma alasan nggak bisa layani kamu Mas,"
jawab Alia.

"Yang barusan kamu bilang juga alasan Darling, memang nggak punya bakat bohong, sih."

"Iya deh, yang punya bakat di bidang itu."

Alia menyindir dengan bibir mengerucut. Arga terkekeh dan mengusap perut sang istri.
Ia putar kursi Alia agar menghadapnya, berjongkok di depan Alia dan meletakkan wajahnya pada paha Alia.

"Sayang, Mamanya ngambek. Bilang sama Mama ya, kalau Papa cinta banget sama Mama."

Alia tersenyum mendengarnya. Ia usap kepala serta rambut Arga. Mengecup puncak kepala sang suami yang ada di atas kedua pahanya.

Duda Tampan (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang