Lima Puluh Empat

11.1K 801 20
                                    

Hay Hay...

Ada yang kangen Mas Arga, nggak?

Happy reading guys❤️

****

"Maaf Bapak ini siapa ya? Terus cari siapa?"

tanya Risa pada seorang yang berdiri degan tegak di depan pintu rumah Alia. Alia dan suaminya sudah pulang ke rumah mereka.

Pria itu tadi menatap Risa dari atas sampai bawah dengan penuh teliti.

"Saya Alvan. Temennya Arga,"

Risa mengangguk saja. Sekilas ia lihat pria bernama Alvan ini sangat dingin hampir mirip seperti Arga yang ia kenal. Pantas saja mereka cocok untuk berteman.

"Oh, temennya Kang Arga?"

Risa tidak tau mau mengatakan apa. Ia bingung sendiri karena lelaki di depannya ini hanya diam.

"Arga ada?"

suara yang dingin dan datar.

"Enggak Pak, Bang Arga udah pulang ke rumahnya tadi pagi," jawab Risa sedikit takut.

"Pak? Saya setua itu di mata kamu, sampai kamu panggil saya Bapak?" kata Alvan membuat Risa bergidik ngeri.

Lalu dia mau panggil apa coba, lelaki ini kan temennya Arga yang sekarang nobatennya adalah majikannya, meski Alia sudah menganggap ia sebagai sahabat tapi tetap saja ia hanya bekerja di rumah ini.

"Hey, malah diam. Panggil saya Alvan atau apa pun itu asal jangan Pak," kata  Alvan membuat Risa sedikit heran.

"I ... iya."

Bibir Alvan terangkat sedikit, menampilkan senyum samar yang tidak ada Yang bisa melihat. Hanya ia sendiri yang tau jika ia tengah tersenyum sedikit.

Matanya tidak henti menatap Risa yang seperti ketakutan melihatnya. Wanita itu menunduk dan memainkan jemarinya sendiri. Alvan tau ia sedang gugup.

Jika diperhatikan dengan jeli, wanita ini tampak cantik. Hanya saja sepertinya ia kurang merawat diri jadi ada kulitnya belang di beberapa bagian. Seperti terbakar sinar matahari. Apalagi di bagian tangan yang jelas terlihat warna berbeda antara punggung tangan dengan pergelangan tangannya.
Wajahnya pun begitu, meski terlihat kesan manis tapi tetap saja belang antara wajah dan lehernya terlihat berbeda warna.

Alvan jadi penasaran. Sebenarnya apa yang membuat Risa tidak mengurusi dirinya sendiri. Tidak mungkin ia gemar atau hobi bermain dengan sinar matahari tanpa satu alasan.

Alvan menatap lagi wajah Risa yang menunduk, ia mencoba mengingat sesuatu dan hatinya semakin yakin jika ia pernah bertemu dengan Risa sebelumnya. Tapi bukan di Jakarta melainkan di Bandung.

Ia pernah melakukan kesalahan pada seorang wanita di Bandung dan ia ingat jika wajah wanita itu mirip sekali dengan Risa. Sahabat dari istri sahabatnya, Arga.

"Saya diminta oleh Arga untuk menjaga kamu selama dia dan Alia enggak berkunjung ke sini. Jadi tulis nomor telepon kamu di situ," kata Alvan.

Tentu saja ia tengah berbohong.  Bertemu dengan Arga pun ia baru kemarin dan setelah itu tidak ada lagi. Semua ia lakukan hanya untuk mendapatkan respon dari Risa. Itu akan ia jadikan sebagai sarana hubungannya dengan Risa.

"Untuk apa? Nomor ponsel saya?" tanya Risa gugup.

"Untuk menjaga kamu. Kalau ada apa-apa kamu bisa langsung telpon saya."

Alvan meletakkan tangannya pada saku celana mahalnya. Ia melihat Risa menggigit bibir dengan gugup dan mengetik beberapa digit nomor ponselnya pada ponsel milik Alvan.

"Oke, kamu panggil aku Mas, jangan Bapak atau sebagainya," kata Alvan dan langsung pergi dari sana.

Risa menatapnya dengan penuh heran dan dahi yang bergelombang. Tapi tatapan pria tadi mama pulang membuat hatinya bergetar dan jantungnya berdetak lebih cepat.
Risa memegang dadanya yang bergetar begitu cepat. Bibirnya terangkat dan mengulum senyum.

"Kenapa aku kaya kenal ya, sama temennya Bang Arga itu. Aku berasa kaya deket sama dia, tapi ... ah udah lah. Mungkin cuma perasaanku aja," gumam Risa sendiri.

Ia masuk lagi ke dalam rumah. Ini sudah malam waktunya untuk beristirahat dan ia memasuki kamar.

"Hem, Sayang dengerin Bunda ya, Bunda sayang banget sama kamu, Bunda akan berusaha untuk pertahanin kami Nak. Walaupun tanpa seorang ayah dan bahkan Bunda pun enggak tau siapa Ayah kamu Nak. Bunda memang mendapat musibah karean dihamili sebelum Bunda nikah,  tapi kehadiran kamu itu suatu anugrah buat Bunda. Bunda sayang kamu," Risa mengusap perutnya yang sudah sedikit membuncit dengan sayang. Kemudian menghapus air matanya sendiri.

***

"Serius lo? Risa sahabat bini lo itu lagi hamil?" tanya Alvan pada Arga seolah tidak percaya.

Ia sedang berada di kantor Arga. Alvan memancing Arga untuk membuka suara dan berhasil. Arga membuka mulut tentang Risa, lagian Alvan bukan orang yang bermulut ember. Tidak mungkin ia membeberkan masalah Risa pada orang lain.

"Lo pikir gue mau ngomong yang unfaedah? Buat apa," jawab Arga sambil memeriksa lagi berkas yang tadi diberikan Nathan padanya.

"Iya gue nggak nyangka aja, kalo lagi hamil ngapain masih kerja. Tega bener suaminya, putus deh harapan gue buat deketin dia."

Alvan pura-pura menghela nafas sebal padahal ia masih dalam tahap memancing Arga.

"Dia nggak ada suami. Jadi kalo lo mau deketin silahkan.Tapi harus tanggung jawab juga sama anaknya jangan cuma sayang sama emaknya doang," kata Arga.

Alvan langsung tersenyum sumringah. Dalam pikirannya terus berputar mengenai Risa. Tidak ada suami tapi hamil, mungkin dialah yang telah menghamili  Risa waktu itu. Alvan harus pastikan kebenaran semua itu dan ia akan bertanggung jawab.

"Hamil tapi enggak punya suami? Maksud lo gimana Ga?"

Arga mengalihkan perhatiannya pada Alvan dan meletakkan berkas yang tadi ia pegang pada meja.

"Dia nggak sadar dulu pernah begituan sama orang yang ia nggak kenal. Dalam keadaan yang kurang sadar, Risa nggak tau siapa yang udah hamilin dia," jawab Arga sebisanya. Karena itu yang ia tahu.

Duda Tampan (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang