𝕻𝖆𝖗𝖙 2. 𝕳𝖎𝖗𝖆𝖕

365 40 19
                                    

*2.

(AN : Apa yang tertuang dalam part ini hanyalah imajinasi belaka, tidak bermaksud merendahkan atau mendukung komunitas tertentu)

*
*
*

HIRAP

Aku terseok dan terlunta tanpa pijar kasihmu

Terkatup kedua belah mataku yang lelah
Isi kepala bertalu-talu dengan gemuruh bayangmu

Puaskah kau menuba?
Tarianmu yang magis dan membius
Meluluh lantakkan dan hangus

Aku tetap haus
Meski meneguk ratusan ribu tetes hujan yang tercurah dari banyak arah

Aku tetap dahaga kasihmu
Meski selaksa air di siramkan
Aku ingin tetap setetes darimu
Tuk lepaskan dahagaku

Hirap tanpamu
Kedap tanpamu
Lindap tanpamu
Kekasihku

_Bima Prabaskara_

*
*
*

Asap rokok bergulung-gulung. Tak terdefinikan. Seperti perasaan Bima saat ini. Lama, tak tersentuh barang yang kata Raka haram ini. Tapi selalu begini. Ia tak pernah bisa berdamai dengan nurani bila sudah di tempat ini.

Bertemu Ajeng adalah sama dengan menuba rasa yang kian tumpah ruah.

Kata-kata Ajeng laksana pedang yang meluluh lantakkannya. Benarkah ia belum bisa menerima semuanya? Jika iya. Apa sebabnya?

Berjubin tanya tak terbongkar dan kian mengakar membuat dadanya seperti terbakar.

Lagi,
Dengan jemari bergetaran ia jamahi rokoknya yang mati. Ia sulut kembali.

Dan,
Di sinilah pelariannya,
Tempat yang pernah 'membesarkannya'di masa lalu. Di mana 'hukum rimba'berlaku. Agar ia dapat tetap 'hidup'.

"Apa kabar, Bang? Tumben mampir."

Sebuah sapaan lembut dan halus dari sesosok tubuh seksi dengan gaun pendek selutut. Senyumnya merekah penuh pesona, tatap matanya sarat mantra asmaradana.

"Kebetulan lewat." jawab Bima datar, tidak terpengaruh dengan sentuhan lembut yang menggerayangi tubuhnya.

Suara rauangan motor bersahut-sahutan memekakkan telinga. Tapi bisa menjadi syurga bagi mereka yang haus akan pengakuan nirwana dunia.

"Gak kangen balapan, Bang?"

Endru bertanya sambil mendekati sosok yang pernah ia segani itu. Menepis Echa yang masih dengan gemulai di sekitar Bima.

Echa bukan bagian dari mereka. Ia adalah salah satu penghuni cakela yang terbiasa dengan komunitasnya.

"Jika butuh? Nomorku tidak berubah,Bang." bisik Echa dengan senyum, tetap menatap sosok yang ia kagumi itu. Cowok yang tidak pernah 'memakainya'. Tampan dengan ikat kepala hitam. Acuh dengan kepulan asap rokoknya.

"Enggak, Ndru mampir aja." jawab Bima datar, kembali menghisap rokoknya, menanggapi basa-basi Endru dan teman-teman lain. Bertanya seputar kabar dan perkembangan masing-masing. Juga tentang genk Elang yang masih saja menganggap mereka 'musuh'. Mulai dari hal-hal kecil. Pertikaian antar anggota. Yang merembet pada pertikaian antar genk. Atau masalah klasik; perempuan.

Meski image negatif genk motor masih melekat hingga kini. Tapi Bima tahu genk motor Endru lebih pada hobby. Pecinta motor dan otomotif.

Saat itulah hand phone Bima bergetar. Sepenggal nama di sana; Nawang. Pasti tahu dari Anggun bahwa ia keluar. Ini memang hampir tengah malam.

🅳🅰🆈🅸🆃🅰 || Blood Is Thicker Than WaterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang