𝕻𝖆𝖗𝖙 3. 𝕿𝖆𝖐 𝖙𝖊𝖗𝖘𝖊𝖓𝖙𝖚𝖍

344 37 22
                                    

*3.

Sedalam apa kita menyayangi seseorang, sedalam itu pulalah luka yang akan kita dapatkan saat di larungkan kecewa❤️

*
*

Dan,
Apapun bisa aku lakukan asal kau bahagia

Meski aku di larungkan pesakitan
Mencumbui kiamat
Dengan luka yang tersemat

Izinkan aku menjadi buku untukmu
Mengisi tiap lembarmu
Meski lusuh
Dan tak pernah kau sentuh
Tak pernah bisa ku sentuh

_Felicia Anggarani_

*
*
*

"Hem!"

Ajeng berdehem untuk menetralisir perasaan tidak nyaman yang menggerayangi benaknya.

Berdua saja dengan Bima di rumah ini ibarat makan buah simalakama. Serba salah.

"Mas Bima mau aku buatkan salad buah untuk bekal?" tawar Ajeng lirih, tidak berani menatap mata Bima. Karena pasti ia kalah. Dan selaksa rasa yang berkelindan tidak karuan akan tumpah ruah.

Bima menggeleng, membawa piring kotornya sendiri ke arah westafel. Ia terbiasa mandiri dan mencucinya sendiri.

"Biar aku cuci, Mas."

Cepat-cepat Ajeng memburu Bima ke arah westafel.

"Aku terbiasa mandiri. Kamu kerjakan aja yang lain." tanggap Bima datar. Tetap mencuci mangkuk oatmealnya sendiri. Juga gelas minum dan sendoknya. Mereka tidak memiliki asisten rumah tangga.

"Jangan keras kepala deh, Bii. Itu dulu. Sekarang beda situasinya. Udah siap-siap sana!" omel Ajeng, merebut perabot kotor yang penuh busa sabun. Merebut pekerjaan Bima.

"Kamu itu aku bantu! Jangan keras kepala! Nanti kecapekan!" bentak Bima, menatap Ajeng garang. Ajeng terbeliak. Bima masih sama. Tak berubah. Tetap peduli padanya. Tetap khawatir, tetap mencemaskannya..

"Cuci mangkuk aja ribut!" omel Bima sambil meletakkan perabot yang telah bersih di raknya. Bergegas meninggalkan Ajeng yang masih menatapnya penasaran.

"Tunggu, Bii..!"

Cegah Ajeng, Bima menoleh.

Cress!

Sebuah tatapan dingin dan tak acuh. Tapi Ajeng yakin itu hanyalah kamuflase untuk menutupi apa yang bergemuruh di kalbu.

"Kenapa kamu khawatir sama aku?" geletar Ajeng dengan suara bergetar. Lima tahun ia bersama Bima. Tak mudah menyingkirkan lelaki itu begitu saja meski ia telah menjadi istri Raka.

"Apa maksud kamu? Jangan tanya aneh-aneh!" omel Bima, meninggalkan Ajeng begitu saja.Ia tak ingin salah kaprah mengartikan tatap mata Ajeng. Ia harus bisa mengendalikan apa yang meletup-letup dalam benaknya. Ini salah. Ini tidak benar. Ia harus bisa! Harus bisa! Haruuss!

*
*
*
Motor sport Bima melaju kencang membelah dinginnya udara pagi. Aspal hitam yang basah sisa hujan semalam memercikkan air dingin yang mengiris.

Dari balik helm fullfacenya Bima berusaha membunuh bayang-bayang Ajeng Prameswari yang seperti menari-nari.

Pulang berarti mereka ulang kembali tiap moment bersama Ajeng. Nyaris dua tahun ini ia memendam sendiri rasa sakit ini, luka ini.

🅳🅰🆈🅸🆃🅰 || Blood Is Thicker Than WaterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang