Part 73. Nomina Abstrak

224 28 48
                                    

*73.

●--------------☆

"Ayo ... tembak, Nai! Tembak ...!"

Kilas balik itu datang lagi, sebuah mimpi buruk yang seperti meluruk masuk tanpa permisi. Di sana, di sebuah tanah lapang dengan rumput yang bergoyang perlahan di belai sang bayu. Sementara dandelion pun menari gemulai. Seolah tak peduli suasana hati. Tangan Naina gemetaran memegang pistol. Berusaha fokus dengan apel merah di atas kepala Rizal. 

"Ayo, Nai, olah raga menembak itu membuat kita dilatih untuk memiliki tingkat konsentrasi tinggi, dan dapat mengendalikan diri agar dapat mengambil keputusan dengan cepat." Andai Naina menyadari bahwa sosok tegas itu Bruno dan bukan Rizal kakaknya? Andai ia menyadarinya dari awal?

"Ayo, Nai ! Tembaakk ...!" Rizal kembali memerintah dengan suara parau, Naina masih gemetaran belum bisa menarik pelatuk. Ia gagal terus dalam target tembak. Sepuluh lingkaran radius tak satupun tepat sasaran, meleset semua, semakin ke tengah  seseorang menembak semakin bagus. Tapi Naina? Ia tidak bisa melakukannya, itulah sebabnya sekarang apel merah di kepala Rizal adalah target tembaknya. Kata Rizal mau tak mau akan memaksa Naina untuk bisa karena jika salah nyawa Rizal taruhannya.

Dapatkah ia seperti dandelion? TERAXACUM, keluarga besar keluarga ASTERACEAE? Dapat bertumbuh diberbagai situasi dan mampu menyesuaikan diri? Meski tampak rapuh dan lemah tak berdaya karena menghambur begitu saja saat angin menghempas bunganya.

"Tembaaakk ...! Atau aku tembak diriku sendiri!" Rizal mengancam sambil menaruh moncong pistol di pelipisnya. Entah kapan mengambil dari selipan pinggangnya.

"Jangaaann ...!" Naina berteriak histeris seiring dengan ...

"DOOOORR ...!"

Letusan keras itu seperti membuat hati Naina tercerai berai. Tangan Naina masih gemetaran di antara senyum Rizal yang tersungging . Puas melihat kepingan apel merah terburai di atas rerumputan.  Sepasang kaki Naina yang gemetaran tak mampu lagi menapak bumi. Jatuh terduduk dengan napas masih memburu. Air matanya luruh saat sosok dengan mata tajam dan garis rahang tegas itu menepuk-nepuk bahunya.

"Nice, Girl."

Naina masih bersimpuh di atas rerumputan. Ia bisa melakukannya? Ia bisa? Nyaris tak bisa dipercaya.

Dan dada Naina kembali kembang kempis tidak teratur saat terdengar suara beberapa kali tembakan bersamaan dengan suara pecahan botol beling kaca. Naina menutup kedua telinganya rapat-rapat dengan terpejam.

"DOR ...! DOORR ...!"

Bahan berdasar pasir silika atau pasir kuarsa dengan besi 0,45 persen itu berhamburan di udara sebelum terserak di atas rumput.

Sosok itu memungut serpihan kecilnya sebelum jongkok di sisi Naina. Memutar-mutar serpihan kecil beling dengan senyum miring.

"Kerak kontinen bumi ini adalah mineral yang memiliki struktur kristal hexagonal. Terbuat dari silika triagonal terkristalisasi. Tapi bisa hancur berkeping-keping." Rizal mendesis lirih dengan kalimat yang tak Naina mengerti. Mengapa Rizal yang hanya berkutat dengan akuntansi mengerti geologi?

"Bayangkan dengan homo sapiens spesies primata macam Bima. Pasti akan buum ... hancur lebur ... luluh lantak ... dengan darah muncrat di mana-mana." lirih dia mendesis dengan tawa pongah.

Naina tak tahu itu nomina abstrak macam apa. Senangkah? Dendam? Atau benci sekaligus sedih? Ambivalesi.

Semua masih niskala, abstrak, tidak bisa dideskripsikan oleh pancaindra.

"Kak Nai." Sebuah sentuhan lembut membuat Naina terhenyak. Seolah bangun dari kilas balik mengapa ia bisa menembak. Bima di hadapannya. Membawakan cup berisi cappuccino ukuran Tall 354 ml. Naina menatap minuman dari starbucks itu. Mengapa Bima menghamburkan duit biru hanya untuk satu cup kopi?

🅳🅰🆈🅸🆃🅰 || Blood Is Thicker Than WaterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang