Part 68. Peneliti Vs Peneror

146 28 29
                                    

*68.

_______________________

Dining room itu menggunakan konsep  lantai terbuka. Menyatu dengan dapur dan ruang keluarga. Memberi kesan sederhana dan maksimal dalam fungsi. Bukan karena keterbatasan space hingga menyatukan ruangan minor, tetapi lebih memberi kesan elegan dan sederhana.

Dapur bersih terlihat jelas dari arah ruang makan. Panci, pan, loyang pemanggang, wajan biasa,  tampak menggantung di dinding dapur. Di bawahnya terdapat kompor dan oven juga microwife.

Di belakangnya, hanya di batasi pintu kecil terdapat dapur kotor yang terletak di area luar rumah atau halaman belakang. Itu adalah tempat favorit ibu Bestari memasak makanan tradisional. Ada rangkaian oven batu dan tempat duduk dari ptongan-potongan dahan pohon dengan meja berkaki akar pohon. Di sudutnya terdapat potongan-potongan kayu kecil berdiameter 10 cm dan arang bambu untuk barbekyu, untuk bakar jagung dan bakar ubi. Teman- teman Rachel Isnaini dan Laura suka melakukannya jika hari libur tiba. Nick? Entah punya teman atau tidak selain buku dan laptop.

Sementara dari jendela samping yang terbuka tampak bunga dari suku kenikir-kenikiran ( asteraceace ). Bunganya yang kuning terang dengan diameter mencapai 30 cm. Bunga majemuk yang terdiri dari ratusan hingga ribuan  bongkol bunga kecil pada satu bongkol.

Bunga yang memiliki ciri khas condong ke timur. Karena untuk mendorong lebah membantu penyerbukan. Sinar matahari  dan kehangatan mendorong bunga untuk  mekar dan menghasilkan serbuk sari lebih cepat dari pada menghadap ke barat. Bunga matahari. Bunga kesukaan mama Nick dan Laura.

Gunadi Wijaya mengumbar senyum pada anggota keluarganya sambil duduk di kursi. Aroma rawon dan sambal terasi menggugah selera. Dengan krupuk udang dalam toples tupperware warna purple, kecamba rawon, juga telor asin sebagai kondimennya.

"Sambalnya Rachel yang buat?" tanyanya dengan senyum. Rachel Isnaini hanya menjawab dengan cengiran. Laura yang antusias menanggapi sambil mengambilkan nasi untuk semua orang. Sementara Nick hanya diam. Hanya meminta sedikit nasi. Karena ia tidak terbiasa makan berat di pagi hari. Ia terbiasa sarapan dengan roti tangkup. Atau bahkan hanya dengan segelas susu.

"Mau sama telor asin, Nick?" Isna mencoba memecah kecanggungan. Tiap kali Nick dan om Gunadi dalam satu meja pasti suasana akan berbeda. Nick hanya menggeleng. Mulai menyantap nasi dengan kuah rawon perlahan. Dagingnya empuk dengan kuah hitam tak terlalu pekat yang segar. Beraroma serai. Nenek Bestari memang jago memasak.

"Ibu di sini saja terus biar anak-anak senang," ucap Gunadi dengan senyum. Menatap ibunya yang sibuk bertekun dengan aneka buah yang dipotong-potong. Tidak ikut makan bersama.

"Nanti Tini kehilangan pekerjaan," jawabnya dengan tawa. Tini yang mendengar dari dapur ikut tertawa. Pekerjaannya memang jauh berkurang jika nenek Bestari berkunjung. Embusan napas Gunadi terdengar berat. Berusaha melupakan beban bahwa ia harus melenyapkan orang lagi demi menutupi kebohongan demi kebohongan. Meski berusaha membaur dengan keluarganya dengan perbincangan sederhana penghununi rumah. Tentang sekolah Laura, tentang kuliyah Rachel yang disambi kerja.

"Whajhiing ...!" Nick tiba-tiba bersin keras, disusul doa ketika mendengar bersin dari mulut Isna. Nick mengambil tysu dan membersihkan ingusnya, ingin sekali papa bertanya hal sederhana, semisal; kondisinya, atau memarahinya karena kurang bisa jadi jaga kesehatan, tapi ...

"Eh, katanya kalau kita bersin jantung kita berhenti sesaat ya? Aku baca di story non fiksi authornya sering bahas hal-hal sederhana gitu," cerocos Laura seperti biasa, suka melahap bacaan apa saja tanpa menyaring kebenarannya.

"Kamu itu, La ... suka ngawur, tekanan dada yang terjadi saat kita bersin hanya mengubah tekanan dalam denyut jantung, gak buat jantung berhenti. Sinyal elektrik yang mengontrol  detak jantung tak dipengaruhi oleh perubahan motorik saat kita bersin.

🅳🅰🆈🅸🆃🅰 || Blood Is Thicker Than WaterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang