*67.
_____________________________
Aroma majalah tua menguar saat Nawang membuka halaman cerpen Melaungkan Cinta di Bukit Jingga itu lagi. Adakah plot twistnya? Atau justru ada plot hole? Adakah elemen yang hilang atau kesalahan yang jelas dalam alur cerita? Dengan kelogisan yang hilang dan intergritas plot? Semisal tokoh utamanya super smart tapi kalah bersaing mendapatkan pujaan hatinya, atau super hero tapi kalah dengan mudah.
"Gimana? Ketemu? Ada petunjuk?" Henry yang ikut membantu bertanya, meski sebenarnya ia mengetahui semuanya, segalanya, bahwa dalang di balik semua adalah nenek tiri Bima dan adik BIma. Tak perlu susah payah menyelidiki semuanya seperti seorang detektif. Tapi mungkinkah ia bongkar semua? Lidahnya kelu. Bahkan ia masih bimbang akankah ia tinggalkan Nawang begitu saja setelah menikah seperti yang diperintahkan mama papanya? Meski baginya terlalu drama. Ia tidak ada sangkut pautnya dengan dendam mereka. Hanya satu kesalahannya --- keterikatan balas budi. Meski mereka tidak pernah ungkit itu dan ia selalu diperlakukan dengan layak, tapi sisi lain hati nuraninya menolak untuk tidak menuruti. Sedang sisi lain lagi, mencintai. Kontradiktif.
"Sepertinya ini hanya kolaburasi biasa, cerpen remaja pada umumnya," Nawang menjawab sambil mengulang membaca lagi, ia sampai hafal isi dari cerpen yang tidak ada seribu kata itu.
"Jadi tak ada petunjuk?" Henry memancing. Dia ingin tahu deduksi calon istrinya. Penalaran induktif Nawang cukup bagus, kemampuan menarik kesimpulan secara umum berdasarkan sumber skenario yang spesifiknya cukup layak.
Henry ikut membaca,
Di Puncak hawanya dingin, di daerah Batu hawanya juga dingin, di kawasan Lembang juga dingin, pun di bukit JIngga. Kami saling menghilangkan jarak dengan saling merapat.
Tak ada petunjuk mereka jadian di sana, apalagi menikah. Henry mengamati Nawang yang serius membolak-balik lembar majalah usang yang bahkan beberapa lembarnya sudah terlepas, tapi direkatkan lagi dengan selotip.
"Na, ' Henry mengambil jeda ucapannya.
"Hm, " Nawang menyahuti kalem, menatap Henry. Cress! Seperti ada guyuran air es yang menyusup celah batin Henry. Mampukah ia khianati sorot mata teduh yang selalu ia kagumi dari dulu? Haruskah Henry jujur tentang keluarganya? Ambisi nenek Aima? Dan semuanya?
"Apa pendapatmu tentang keluargaku?" Henry mencoba memancing. Nawang tertawa, mengapa tiba-tiba Henry menanyakan pertanyaan retoris? Kan semuanya baik dan merestui mereka. Nawang malah sering belajar masakan Tionghoa dari mama Zehra. Ataukah ada yang ditutupi sebenarnya? Dan mereka hanya memakai persona yang menyilau mata?
"Humble, baik, terima aku apa adanya walau beda etnis," Nawang menjawab jujur, "kenapa tiba-tiba nanya gitu? Ada sesuatu?"
Henry menggeleng, ternyata ia belum sanggup bercerita apa-apa. Ternyata ia lemah dan tak berdaya. Ternyata ia ...
"Bagaimana jika suatu saat kamu mengetahui bahwa keluargaku tidak seperti yang kamu harapkan?" Henry mencoba tahu apakah keluarganya adalah aksioma bagi Nawang, postulatnya.
Nawang terdiam sesaat, apakah benar keluarga Henry adalah aksioma baginya? Karena tidak memuat kontradiktif? Tapi kata mas Bima, taklid buta pada apapun itu tidak boleh, harus berdasarkan data dan fakta. Dan data dan fakta itu bersifat hepotesa, masih bisa berubah.
"Em ... sejauh ini aku percaya kalian tulus, kenapa? Jangan khawatirkan hal yang belum terjadi," Nawang menjawab dengan senyum. Henry ikut tersenyum, mencoba mengusir galau yang tak terhalau walau ia coba singkirkan dari hatinya. Apakah ini karena ia berbohong? Lagi-lagi Henry ingat Bram yang sedang tesis.
KAMU SEDANG MEMBACA
🅳🅰🆈🅸🆃🅰 || Blood Is Thicker Than Water
Science-Fiction𖤐⭒๋࣭ ⭑𓍯𓂃⁀➴ Cover by : @PutraRize_ ( author Malaysia ) Fiksi ilmiah & dark romance penuh kejutan dengan diksi indah dan enigma. Full ilmiah. Seperti titik lebur alkali tanah. Berantakan tak beraturan. Atau seperti nyala alkali tanah, dari orange...