𝕻𝖆𝖗𝖙 28. 𝕻𝖆𝖑𝖆𝖓𝖌 𝕸𝖊𝖒𝖆𝖑𝖆𝖓𝖌

168 31 16
                                    

*28.

(A/n. Part special kolaburasi dengan Vega Pratama & Gandhi Fusena/EnHa)

❤️

Felicia Anggraini
.
.
Mimpi yang meradang
Sejarah yang mengulang
Andai cinta adalah eksak?
Tak berbelit dalam benak
Tak bingung dalam petak
Apa yang tercetak dalam kotak?
Hanya sebongkah mimpi penuh jebak..
Tak bisa terelak dan mengelak
.
Tak perlu gunting untuk memangkas semak membelukar akar dari masalahnya adalah satu; menikmati. Tanpa peduli pemikiran jernih.

.
.
***

Aku yang lelah dan terlupa. Aku yang letih memahami dan menginsyafi.

Tak letih masih bergumul di sini. Dengan kartu ceki. Seolah ia jalan suci. Padahal nurani tahu ini jauh dari syurgawi. Memaksa kehendak yang tak di hendak. Membelah realiti dengan irasionil tanpa interpretasi.

Bergumul dengan iblis yang menari-nari. Menjanjikan kenisbian waktu dan mimpi.

Apa yang telah aku lakukan?
Menjadi budak syetan belang yang melenggang senang. Bahkan rela telanjang dan berjalan di kuburan bak hilang pikiran.

Hanya demi kartu ceki agar bisa sakti. Di manakah rasional diri? Di hancurkan! Di bumi hanguskan! Di bombardir! Di pukul dengan martil. Luluh lantak!

Adakah hasil?
Hemg!Nihil!
Aku terbahak!
Sebiji sawi
iman seorang Bima Prabaskara adalah benteng dari segala bala'.

Dan aku?
Tetap berusaha mencari cela, memaksa kehendak yang tak di hendak!

Bergetaran jemariku menjura, menjadi hamba iblis durjana. Demi sepenggal nama; Bima Prabaskara.

Mungkin semua orang anggap aku gila. Tapi mereka tak tahu apa yang telah di lakukan Bima untukku di masa lalu. Masa kelabu. Masa ketika aku hanyalah Felicia cupu.

Dan ketika kaca mata tebalku di sulap dan jadi ayu, semua lelaki perayu yang dulu menghinaku jadi menggerubutiku bak semut dan gula bertemu.

Bima yang mengajariku untuk hidup dengan kepala tegak dan tidak menunduk pada siapapun.

Meski kejadian pada detik titik nadir hidupku di telanjangi saat itu. Oleh sosok yang tiap anak gadis melongo melihatnya, yang tiap jiwa bernapas nama Hawa lumrah dan patah oleh pesonanya. Dia Argo Sastro Wijaya. Idola sekolah.

Ketika dengan kedua belah tangan syetannya menyodok dadaku. Dengan biola yang menyanyikan romansa paksa dia menganyun-ayun tubuh dan seragam putih abuku.

Dan suara teriakku seperti membentur dinding beku tak berpintu. Hanya satu di benakku saat itu, jika Tuhan mengulurkan tangan-Nya untuk menolongku. Siapapun perantara itu akan ku pasrahkan hidup matiku padanya.

Dan,
Dia, Bima yang datang.Dengan suara lantang dan mata nyalang, mendobrak pintu yang menghalang.

Argo hengkang!
Jelaga hitam yang tebal perlahan menghilang. Bak penawar mabuk Bima mengguyur Argo dengan titik ko'ordinat kesadaran. Moralnya yang terdegradasi kembali pulih.

Aku tak tahu tongkat sihir apa yang di ayunkan Bima. Hingga seorang Argo sastro Wijaya tergopoh-gopoh pergi dengan limbung bak zombi.

Dan Bima,
Memperbaiki putih abuku yang terserak seperi lego. Menolongku yang bak kebo cengo dan bego, melongo, asli bodoh. Beberapa tato merah di leher dan dadaku karena sodokan tak bermoral dari baseball Argo.

🅳🅰🆈🅸🆃🅰 || Blood Is Thicker Than WaterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang