𝕻𝖆𝖗𝖙 58. 𝕸𝖊𝖒𝖇𝖔𝖓𝖌𝖐𝖆𝖗 𝖕𝖊𝖗𝖘𝖔𝖓𝖆 ( 7 )

98 29 22
                                    

*58.


Aroma kopi menguar tajam saat William memasuki sebuah kedai kopi yang tanpa plang nama. Seorang perempuan tua dengan sanggul mungil di atas kepala tampak bergerak lamban melayani para pembeli. Ralat- bukan para pembeli, tapi seorang pembeli. William coba amati pria itu, terlalu mencolok untuk berada di kedai sesederhana ini. Ini bukan kafe mewah dengan dinding penuh mural yang instragramable. Dindingnya hanyalah tembok tua dan kusam dengan cat yang telah memudar. sebenarnya bercat putih, tapi telah berubah menjadi kekuningan dengan bercak coklat di bagian bawah. Sepertinya jamur yang telah mengering.

Aromanya pun tak harum lavender atau lemon, tapi hanya beraroma kopi. Dan mungkin itulah daya tarik satu-satunya. Seolah menjadi magnit untuk menarik pembeli. Tak ada yang menarik, hanya meja kursi kayu tua yang catnya telah pudar. Tegel berwarna kuning yang tak mengkilat. Dan dindingnya polos tanpa lukisan, hanya ada kalender masehi dengan angka besar-besar berwarna hijau. Nyata menunjukkan dari sebuah KPR. Dan jam dinding tua berwarna kelabu.

Lagi, William amati pria itu. berjaket denim, memakai sepatu kets bermerk terkenal. Dan jam tangan yang dipakai pun bukan murahan. Pria itu sedang sibuk dengan laptopnya, jemarinya lincah memainkan kursornya.

"Terima kasih, Mbah," William mengucap terima kasih ketika secangkir kopi pesanannya datang. Aromanya seperti aroma terapi yang menenangkan. Ia menyebut perempuan tua itu 'mbah', dalam bahasa Jawa artinya nenek. Baru saja William akan mengesap kopinya, tiba-tiba ia dikejutkan dengan sebuah suara yang membuat darahnya berdesir.

"Sudah lama, Leonal? Maaf, aku selalu terlambat."

Deg!

Suara mas Rizal? Mas Rizal juga suka dengan kedai kopi sederhana? Bukan Sigma kafe tempat ia bekerja sebagai penyanyi bersama Naina? William menelengkan kepalanya untuk membuktikan bahwa ia tidak salah.

"Hai, tak apa Bruno. " terdengar sebuah jawaban yang membuat William tercengang, Bruno? apakah William salah orang? Ia amati lagi sosok yang baru datang itu. Benarkah mas Rizal atau hanya mirip mas RIzal? Tapi itu benar-benar mas Rizal meski William belum pernah melihatnya memakai pakaian seperti itu. style lebih mirip anak jalanan, dengan jeans yang koyak moyak di bagian lutut, memakai jaket kulit berwarna coklat. Dan sejak kapan mas Rizal menguncir rambutnya yang tidak bisa dibilang gondrong? Karena rambut ikalnya hanya sebahu saat dikuncir begitu jadi lebih mirip ekor ayam betina ibu kost, nampak seperti bunga mekar jika dilihat dari belakang begini.

William tersenyum geli. Ia membayangkan apa? Menyamakan kuncir dan rambut dengan ekor ayam betina. Apakah William akan coba pastikan itu Rizal atau bukan? Adakah orang yang begitu mirip? Ah, bukannya bang Bima juga mirip Rizal?

Diam-diam William mengambil gambar mereka. Ia akan kirim pada Bima setelah ia pastikan itu Rizal atau bukan.

Setelah ia rasa ada kesempatan, william segera beranjak dari tempatnya duduk. Mengusap tengkuknya. Berdehem untuk menenangkan diri. Sebelum,

"Eh, maaf. Mas Rizal?" William mencoba mengkonfirmasi meski ragu. Karena logat sosok mirip Rizal itu juga berbeda. Nyata terdengar saat berbincang tadi.

Sosok itu menoleh dengan tatapan asing dan tak mengenali William. William tersenyum kecut melihat ekspresi sosok itu. Pasaran banget wajah bang Bima. Banyak yang mirip. Runtuk hatinya. Setelah yakin sosok itu benar-benar tak mengenalnya.

"Siapa ya? Aku Bruno. Bukan Rizal." Berat dan dingin suara itu. Dengan tatapan dingin pula. William menelan ludah. Minta maaf karena salah orang.


"Abang gak suka makanan Jepang?" Nur bertanya saat menikmati okonomiyaki dengan lahap. Ia suka sausnya, suka juga dengan isian sayur dan seafoodnya. Kayaknya ada ayamnya juga.

🅳🅰🆈🅸🆃🅰 || Blood Is Thicker Than WaterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang