𝕻𝖆𝖗𝖙 48. 𝖂𝖍𝖔 𝖎𝖘 𝕶𝖍𝖆𝖑𝖎𝖘𝖆?

156 28 17
                                    

*48.


Rizal Dirgantara

Ibuku adalah pilar kokoh yang menopang hidupku. Dan aku hanyalah dinding bambu rapuh yang nyaris rubuh. Di gerus luka dan amarah yang tak berkesudah. Entah kapan sembuhnya.

Andai aku bisa, aku ingin menjadi setitik air jenih yang membasahi kerontang masa lalu ibuku. Agar tumbuh ladang jagung yang subur. Dan tak di serbu ostrinia furnacelis, tentara penggerek batang hingga patah. Dan tak terserak segala yang bisa di buat bertahan hidup.

Tapi aku bukanlah setetes air jernih. Aku adalah air bah yang ingin meluluh lantakkan hidup Bima dan istrinya.

"Kenapa kamu tidak langsung menghabisi Bima?"perempuan berwajah iblis tiba-tiba di hadapanku. Seperti muncul begitu saja dari abstraknya kepulan asap rokokku. Kedua tangan putih mulusnya dilipat di depan dada. Tersenyum penuh misteri. Kuku jemarinya yang letik berwarna hitam persis penyihir. Pun lipstik di bibirnya. Hitam. Tapi tetap memukau dan ayu.

"Dengan cara apa aku menghapusnya dari dunia? Dengan peluru? Atau dengan cinta bertuba?" Perempuan berwajah iblis tertawa pongah. Mendongak menatap bulan separuh yang timbul tenggelam dalam kubangan awan hitam.

Sebelum tanpa tanda ia mengajakku menari belly dance. Terlihat aneh tapi nyata. Karena biasanya belly dance adalah kesunyian dalam keseorangan. Tari perut yang tak memamerkan perut. Tertutup sepi yang memagut. Dalam asa yang terenggut.

Kami terbahak-bahak dalam rinai gerimis yang menangis. Mengais serpihan mimpi yang meringis bengis. Di sini. Di dekat pelataran rumah Bima yang dia anggap surga. Kami tabur racun dan perciki dengan tuba neraka.

Telanjang kaki kami membentuk tarian jejak. Abstrak. Dalam lena mimpi terbahak-bahak.

Berganti tari Babukung, tarian ritual kematian suku dayak. Lagi, dengan terbahak-bahak. Seolah Bima tergolek dalam altar di depan kami. Tak ada yang meratapi. Hanya menertawai. Mabuk menikmati imaji. Tiada henti berkalung mimpi. Di sisa hujan yang sepi.


Author Pov.

"Bang, kayaknya ada orang yang menari deh," ucap Nur serius saat akan menutup gorden kamar. Ada siluet bayangan sendirian yang menari dalam temaram lampu.

Bima ikut mengintip dari balik tirai virtase warna putih itu. Tak ada siluet apapun yang menari. Hanya ada tiang lampu jalan yang dikerubuti laron. Temaram dalam samar bayangan.

Laron yang selalu terobsesi lampu. Karena mereka membutuhkan suhu hangat yang dipancarkan lampu.

"Cuma siluet lampu dan laron, Nur. Jangan kepo lihat laron yang mencari pasangannya sebelum fajar. Karena jika gak dapat pasangan mereka akan mati," tanggap Bima sambil menguap. Mengantuk.

"Lha? Kenapa mati?" Nur bertanya keheranan.

"Ya karena mereka akan terus nyari pasangan sampai matahari terbit.

Matahari akan membuat tubuh laron kehilangan sebagian besar cairan. Trus jadi kering deh. Trus death.

Trus mengapa laron banyak yang lepas sayapnya walau gak di makan predator?

Cara mereka bereproduksi emang gitu. Puas? Nanya apa lagi?"

Jelas Bima sambil menguap lagi, ingin berbaring tapi ...

"Ih, serius , Bang. Tadi di sana," Nur menunjuk suatu arah. Tak suka Bima tak memercayainya. Dan sepertinya lebih menikmati kantuknya. Bima hanya tertawa. Merangkul istrinya menuju peraduan. Mengajaknya tidur.

🅳🅰🆈🅸🆃🅰 || Blood Is Thicker Than WaterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang