𝕻𝖆𝖗𝖙 4. 𝕭𝖊𝖑𝖊𝖓𝖌𝖌𝖚

300 36 34
                                    

*4.

*
*

Menubamu dan memujamu adalah belenggu yang saling bertaut

Sepi memagut
Bising yang terenggut

Aku hanyalah seorang pengembara
Berkelana mencarimu tapi juga mencacimu

Kau mencuca
Dalam asa yang kian membuncah
Dilema antara terus di cinta dan menolak lupa

Ataukah hempaskan bayangmu jauh di dasar bumi
Mengharap rasamu dan rasaku mati
Dan tak pernah bangkit lagi

_Bima Prabaskara_

*
*
*

Dan,
Tawa meremehkan itu diiringi dengan lemparan batu yang seolah jadi bumerang bagi Bima.

Nur memekik, menutup mulutnya.
Untung Bima sempat merunduk hingga lemparan keras itu bermuara membentur dinding pagar pemukiman warga.

"Banyak bac*t, Elo!! Sok pahlawan!! Mau minta maaf! Ini maaf yang elo mauu! Hiaaa...!!"

Tak ayal lagi,
Duel tiga lawan satu pun terjadi. Beberapa kali sepakan kaki salah satu dari mereka sempat menyerempet jaket Bima. Nur berteriak-teriak minta tolong. Mereka terbeliak. Karena tak ingin di hajar massa, kawanan genk motor itu kabur.

"Sok-sokan jadi jagoan! Mau mamp*s di hajar warga!!" omel Bima sambil meraih helmnya yang teronggok di atas rumput. Menjawab tidak apa-apa saat tetangga-tetangga kostnya bertanya.

"Abang sih! Ngapain nyuruh mereka minta maaf!" omel Nur sambil membersihkan kotoran di jaket Bima. Bima tertawa kesal.

"Abang belain kamu Nur? Malah nyalahin abang!" omelnya sambil menuntun masuk motornya. Melewati gerbang kost.

"Gak harus gitu, Bang! Gak usah di ladeni!" omel Nur sambil mensesejari langkah Bima. Membalas sapaan beberapa anak kost. Ini jam pulang kerja. Tak heran bila banyak yang sudah berada di kost-kostan.

"Ngapain ngintil abang?" omel Bima saat Nur mengikutinya sampai depan pintu kamar.

"Lha? Abang ge-er, pikun lagi, faktor U."

Kamila Nur laila, gadis belia sebaya Anggun itu malah tertawa ngakak. Tertawa manis. Tanpa peduli raut juteg Bima.

Ceklakk!!

Pintu kamar terbuka, aroma lemon segar dari pengharum ruangan langsung tercium. Bima melempar helm dan jaketnya yang kotor. Terkena sepakan kaki anak motor tadi.

"Apa'an? Abang lupa!" sungut Bima, ia tak suka teka-teki.

Nur menunjukkan isi chatingannya dengan Bima.

"Abang belum butuh kaca mata kan?" goda Nur dengan tawa, Bima ngedumel sambil menjawab iya iya.

Ia benar-benar lupa bahwa ia janjian dengan Nur sepulang kerja untuk ...

"Nuuur...!!"

Terdengar panggilan dari luar, Nur menghela napas. Enggan menoleh.

"Abang mandi dan sholat ashar dulu, di cari pengagummu tuh!" ucap Bima sambil menutup pintu. Mengusir Nur keluar dengan hus..hus...Nur hanya tertawa. Menurut.

Mencoba bersikap biasa pada pria sebayanya. Ganteng, putih dengan cara berpakaian dan model rambut ala Korea.

"Ngapain?!" sungut Nur sambil sendakep. Dulu ia memang sempat mengagumi pria ini. Ia sama seperti remaja pada umumnya, menggilai drakor dan tetek bengeknya.

Tapi semua sirna saat ia mengenal sosok Bima. Yang lebih dewasa, lebih mengayomi.

Baginya Bima bukan hanya sahabatnya, tapi seperti abangnya, bahkan seperti ayahnya.

🅳🅰🆈🅸🆃🅰 || Blood Is Thicker Than WaterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang