𝕻𝖆𝖗𝖙 19. 𝕸𝖊𝖓𝖏𝖊𝖗𝖊𝖇𝖆

141 34 28
                                    

*19.

Mencintamu bagai menjeremba angin
Dengan daksa yang terlunta aku pasrah

Memujamu bagai tirta amarta
Tuk buat buanaku jadi semesta yang indah

Aku bukanlah seorang sujana
Aku hanyalah sang durjana
Yang inginkan sahmura

Aku renjana
Dalam cinta dan gelora yang anggara
Di antara angkara dan cinta buta

_Bima Prabaskara_

.
.
***

Family is where life begins and love never ends
(Keluarga adalah tempat kehidupan dimulai dan cinta tiada akhir)
.
.
***

Ajeng masih setia di sini, mengarungi mimpi-mimpi yang telah pergi. Berpeluk foto pernikahannya dengan Raka. Bergumul pilu, di rajam sembilu, yang seolah meremas-remas kalbu. Apakah Raka akan menceraikannya? Tidak! Raka tidak senaif itu. Tapi jika iya, bagaimana?

Lagi,
Ajeng jamahi hand phonenya. Membaca ulang pesan Raka sebelum Raka mematikan hand phonenya.

Beri aku waktu untuk menenangkan diri. Jaga diri. Don't worry. I'am Fine.

Benarkah Raka baik-baik saja? Tidak! Raka tidak baik-baik saja. Jika Raka baik-baik saja maka tak kan pergi dari sisinya.

Mengapa dulu Ajeng mau sama Raka? Karena wajahnya sangat mirip Bima, tapi lebih tenang dan kalem. Dan sikap tenang dan kalem inilah yang Ajeng suka. Karena alam bawah sadarnya dulu mengharap Bima bisa bersikap seperti itu. Memiliki self control yang bagus. Bima itu emosian, mudah meledak-ledak. Sangat jauh dengan Raka yang tenang.

Ajeng tersenyum, mengenang pertemuan pertamanya dengan Raka. Saat itu Ajeng mengantar ibundanya kontrol setelah rawat inap.

Bukan seperti drama pada film-film romansa. Seperti bertubrukan lalu sama-sama memungut apa yang terserak di lantai, untuk kemudian saling tatap biar bisa turun ke hati. Bukan.

Atau yang lebih dramatis, semisal terpeleset di lantai lalu Raka menangkap tubuhnya. Bukan. Ini jauh dari kata romantis. Bahkan terkesan tragis.

Saat itu Ajeng kebingungan mencari kursi roda untuk ibundanya, mungkin karena ia berangkat kesiangan maka ia tidak kebagian kursi roda. Ia lupa bahwa ini rumah sakit pemerintah terbesar kedua di Jatim. Pasien membludak dari berbagai kota, bahkan rela antri sejak pagi buta.

"Gimana sih, Mas? Katanya melayani masyarakat dengan sebaik-baiknya? Masak dari hal terkecil aja kurang?" omel Ajeng saat itu pada sosok yang berdiri tak jauh darinya, menunduk sibuk dengan hand phonenya. Memakai namtag tergantung di lehernya dalam posisi terbalik. Tidak memakai seragam perawat, satpam atau yang lain. Tapi memakai celana cargo coklat susu dan kemeja batik. Sepatu pantofel hitam mengkilat. Mungkin orang kantornya. Bagus kan? Malah bisa melengkapi sarana dan prasarana rumah sakit kalau dia bagian logistik. Atau bisa jadi ia OB, di hari-hari tertentu kan pakai batik juga.

"Gimana ..? Gimana, Bu? Ada yang bisa saya bantu?"

Bu? Ibu? Emang dandanan Ajeng setua itu hingga di panggil ibu?
Tapi niat Ajeng untuk menyemprot sosok itu dengan kata-kata kasar buyar. Ambyar seketika. Melihat sosok itu tengadah dan ...

Bima? Tapi dengan versi lebih belia. Mimpikah dia?

"Ma'af ibu? Ada yang bisa saya bantu?"

Lagi,
Ia di panggil ibu, tapi Ajeng tak bisa marah. Dia begitu santun dan bertanya lembut walau Ajeng nyolot. Tergagap Ajeng mengatakan butuh kursi roda.

🅳🅰🆈🅸🆃🅰 || Blood Is Thicker Than WaterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang