𝕻𝖆𝖗𝖙 31. 𝕯𝖎𝖘𝖙𝖔𝖗𝖘𝖎 ( 1 )

151 31 25
                                    

*31.

.

(A/n. Isi part ini sebagian fiktif. Tidak berhubungan dengan siapapun dan apapun di dunia nyata.

Jika ada kesamaan nama, tempat, kejadian di dunia nyata itu murni kebetulan semata🙏)

.
Felicia Anggraini
.
.

Aku masih diam dengan tatap mematungku. Di depan Shasi aku seperti ubur-ubur transparan yang tampak dengan jelas apa yang bergemuruh di ruang kalbuku. Puting beliung rasaku, berkelindannya geloraku,
bergejolaknya kebingunganku. Dalam ruang penuh jebak. Antara kealfaan nurani ataukah distraksi.

Bima itu memuja Shasi seperti seorang Dewi. Pantas, dalam pentas roman picisanku dengan Bima ia adalah orang ketiga, itu anggapanku. Tapi bagaimana mungkin orang yang pernah jadi adiksi Bima kini malah mencoba menjadi pencerahku?

Tiba-tiba Shasi mengundangku untuk makan siang di sini, di rumahnya. Adakah satu misi? Konspirasi?

"Kenapa kamu begitu terobsesi pada Bima? Sedang kamu tahu ia akan menikah."

Shasi bertanya santai, sambil memotong roti tawar lava panggangnya yang baru ia buat. Krimnya lumer, dan Shasi memakan potongannya dengan nikmat lewat garpu. Topping buah cerynya seperti meletus saat ditusuk garpu.

Orang ngidam memang aneh-aneh. Menu yang lazim di makan sebagai sarapan malah jadi menu makan siang.

Aku diam, di depan Shasi aku begitu terkunci. Apakah aku terobsesi pada Bima? Apa yang membuatku merasa begitu hidup saat bersama Bima? Karena ia adalah super heroku?

Aku hanya memandangi salad buah bikinan Shasi tanpa gairah untuk memakannya. Padahal buah-buahannya faforitku. Potongan kiwi yang di tata rapi, potongan melon Jepang, pisang thailand, dan plum.

"Siapapun, yang bermoral akan melakukan itu, Fe."

Lagi, Shasi mencoba menyadarkanku.

"Bima membuatku merasa berharga dan berarti, Sha.

Saat dia pergi aku merasa tidak berharga dan hampa."

Akhirnya terlontar jawabanku. Begitu saja, karena aku tak tahu lagi bagaimana mendeskripsikan tentang Bima.

Shasi tersenyum tulus, aku tahu itu karena kerut tarikan senyumnya sampai sudut mata. Lembut ia melanjutkan,

"Kamu sadar gak, Fe? Dalam satu kalimat kamu nyatakan dua hal yang bertentangan."

Perempuan cantik yang tengah berbadan dua itu membuatku terkesiap. Masak? Yang mana?

"Kamu merasa tidak berharga dan hampa tanpa Bima." ucap Shasi, memang iya. Lalu di mana letak kontradiksinya?

"Di saat yang sama kamu juga bilang Bima membuatmu merasa berharga dan berarti."

Lanjut Shasi.

Glek!

Aku menelan ludah, seperti dua kutub yang bertentangan padahal di perankan orang yang sama; Bima.

"Aku .. aku merasa berharga dan berarti saat di sisinya." jawabku asal saja. Lagi, Shasi tersenyum dengan tatap mata teduhnya. Aku sekarang sadar satu hal dan tahu rasanya, pantas Bima pernah begitu memujanya. Rasa ini, tenang dan damai, terlucuti tapi tanpa merasa memalukan diri.

"Saat dia pergi aku seperti buta dan kehilangan arah. Dia seperti cahaya, Sha." lanjutku setelah berhasil mengumpulkan kosa kata di benakku.

"Jadi tanpa dia kamu seperti dalam gelap?"

Shasi bertanya, aku mengangguk pasrah. Shasi menatapku dalam- dalam, bertanya perlahan- lahan.
Dia sudah selesai dengan potongan terakhir rotinya, mengusap mulutnya dengan tysu.

🅳🅰🆈🅸🆃🅰 || Blood Is Thicker Than WaterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang