*47.
♡
♡Tangan Nur berhenti pada sebuah buku tahunan. Ia tarik buku itu dengan hati-hati. Dada Nur berdegub kencang saat membukanya. Seolah ada sebuah kejutan besar menanti. Foto-foto tua dengan gaya vintage. SMA ayah mertua memang sekolah bonafide. Tak heran bila sekitar tiga puluh tahun lalu sudah ada buku tahunan dengan tema seperti ini. Yang mana ayah? Nur coba jelajahi wajah-wajah dengan seragam warna pastel dari murid-murid dengan berbagai pose di antara dekorasi televisi tua yang tergeletak begitu saja.
Nur tersenyum mendapati seraut wajah tampan mirip bang Bima. Nur mengelusnya lembut dengan jemarinya. Tak sempat ia tunjukkan baktinya sebagai seorang menantu perempuan.
Hai? Bukankah Nur mencari nama dengan inisial K? Segera Nur membuka perlembar. Jarinya teliti mencari yang berinisial K. Kaila, Khaffi, Kharisma, Khalisa. Mana yang dibutuhkan Nawang? Nur foto semua dengan kamera Hand phonenya. Alamatnya. Apakah masih sama? Ini sudah tiga puluh tahun lalu. Dan untuk apa Nawang mencarinya?
Nur raih gantungan kunci perak berbentuk kura-kura itu. Inisiatifnya PH. Prabaskara-Hania Rahayu. Nama kedua mertua Nur, orang tua Bima. Nur menghela napas, andai saja Nawang mau berbagi? Mungkin ia masih belum di anggap kakak sendiri. Ya Robb ... bukankah mbak Shasi sering mengatakan harus self talk yang baik-baik? Mengapa susah sekali? Padahal Nur di sekolah berkumpul dengan orang-orang yang selalu berpikir positif. Harusnya kan nular.
"Sore, Hubby," bisik Nur dengan sebuah kecupan lembut di pipi Bima saat suaminya itu membuka mata. Bima tersenyum lembut. Panggilan sayangnya dari Nur adalah hubby; suami. Ia suka begitu membuka mata dari tidur siangnya wajah pertama yang ia lihat adalah istrinya.
"Sore, ya qalbi." Serak suara Bima. Nur masih saja ngakak geli di panggil dengan panggilan sayang yang memiliki arti wahai hatiku itu. Lebay.
"Tadi Nawang telfon, Bang," ucap Nur saat membantu Bima bangun. Bima masih malas bangun. Menarik tangan Nur agar ikut rebah. Nur menjerit manja. Menimpuki Bima dengan Bro Lee. Tertawa-tawa riang saat Bima dengan gemas menggelitikinya. Tanpa tahu Nawang kembali telfon. Di seberang sana Nawang membanting hand phonenya dengan kesal ke atas kasur. Menggerutu dalam hati. Ngapain sih pengantin baru sore-sore? Dasar!
♡
♡"Kenapa kita ngintip dari sini?" bisik Jessy saat di ajak Anggun mengamati TPU Sekar Putih. Anggun stt ... stt ... sambil menggandeng Jessy ke arah komplek pemakaman. Penjaga makam bilang hampir tiap kamis malam jumat perempuan misterius itu mendatangi makam ayah meski jamnya tidak tentu.
"Ntar kita datangin dia trus kita tanya siapanya ayah kamu?" Jessy bertanya lugu. Memandangi makam yang sepi. Hanya ada satu dua orang yang berkunjung. Nisan-nisan yang tampak kaku. Pohon-pohon bunga Kamboja yang berdiri pongah. Tak banyak. Hanya satu dua. Ada di tengah dan pinggir makam.
"Kak Nawang dan mbak Ajeng kan repot terus, jadi aku yang jadi detektif." Jessy ngakak keras melihat keseriusan wajah karibnya. Anggun tak peduli. Ia perbaiki kaca mata hitam dan hijab seragamnya. Cerita mbak Nawang bikin penasaran.
"Nggun ...Nggun ... itukah perempuan yang dimaksud kak Nawang?" Jessy menunjuk seorang perempuan yang memakai ankle jeans dengan atasan blazer warna grey. Anggun melepas kaca matanya. Mengambil teleskop dari rangselnya. Dari balik cermin cekung yang merefleksikan cahaya dan bayangan gambar ia melihat perempuan berkaca mata hitam itu membawa sekeranjang bunga. Langkahnya gontai. Dan bergerak pasti ke arah makam ayah. Dengan cepat Anggun mengambil hand phonenya. Mengambil gambar perempuan itu. Jessy berbisik agar mendatanginya saja. Dan bertanya dia siapa. Tapi Anggun menggeleng-geleng. Ia tak berani.
KAMU SEDANG MEMBACA
🅳🅰🆈🅸🆃🅰 || Blood Is Thicker Than Water
Science-Fiction𖤐⭒๋࣭ ⭑𓍯𓂃⁀➴ Cover by : @PutraRize_ ( author Malaysia ) Fiksi ilmiah & dark romance penuh kejutan dengan diksi indah dan enigma. Full ilmiah. Seperti titik lebur alkali tanah. Berantakan tak beraturan. Atau seperti nyala alkali tanah, dari orange...