𝕻𝖆𝖗𝖙 30. 𝕿𝖊𝖗𝖘𝖆𝖗𝖆 𝖇𝖆𝖗𝖆

142 30 24
                                    

*30.

.
.
(Isi part ini hanya fiktif. Tidak berhubungan dengan siapapun dan apapun di dunia nyata.

Jika ada kesamaan nama, tempat, kejadian di dunia nyata itu murni kebetulan semata)

.
Felicia Anggraini

.
.

Apa yang tersara-bara di benakku tak ada yang pernah tahu. Ketika bilangan aksara di balairungku punah, bahkan sebelum ku mulai mengukirnya.

Tatap netra Bima bagai candrasa yang terhunus. Menghunjam jauh, menohok sukma yang letih dalam angkara.

Dan,
Aku terhempas di titik sifar yang menebar hangat dalam dekap mimpi. Kemudian membuatku terayun pada koordinat sublim.

Membumi hanguskan musim-musim nestapa. Meloka tak berkesudah. Membawaku jauh ke puncak bumantara. Menyesapi indahnya lokananta.

"Astaqfirlloh, Fe. Haram mandangin laki sampe segitunya. Kalau pandangan pertama tuh rezeki. Pandangan kedua dosa."

Omelan Afina tiba-tiba di sisiku membuatku sadar seketika bahwa aku masih di dunia nyata. Aku tertawa manis. Dosa?

"Iyalah, kan bukan mahram."

Omel orang baru di divisiku itu. Seperti biasa. Blak-blakan.

"Stt... Stt... Pak Bima kemari."

Bisik Andin membuat semua fokus di kubikelnya masing- masing. Hanya aku yang santai. Lebih tepatnya berusaha terlihat santai. Insiden di parkiran mobil, dan tuduhan orang- orang yang mengaku menyayangi Bima, terlebih makhluk bernama Nur itu. Membuatku harus pandai memakai persona. Bocah kemarin sore yang tiba-tiba bisa berdiri dengan pongah di hadapanku dengan dagu terangkat. Hegh! Bocah yang belum tahu apa-apa tentang dunia dan belum di sapih ibunya tiba-tiba bertingkah sok dewasa.

"Alloh maha adil, Mbak Fe. Suatu saat nanti topeng mbak akan terbuka."

Aku tertawa garing saat itu, dia anggap ini hanya sebuah permainan kecil. Dan menganggapku seperti anak kecil yang kehilangan mainan. Dia akan tahu apa arti permainan yang sesungguhnya. Dia belum tahu berhadapan dengan siapa. Nur tidak tahu bahwa dia sedang berjalan menyusuri tebing dan bisa jatuh kapan saja.

Aku mengenal laut Bima dengan baik, mengenal ombaknya, karangnya, deburnya, pesisirnya, buihnya, bahkan pantainya dan badainya. Akan lebih mudah bagiku untuk berenang dan menenggelamkan diri dalam kharisma dan murkanya dari pada Nur. Hanya aku yang bisa ; F- e- l-i-c-i-a.

.
.
***

Author
.
.

Musim seperti tersesat dan kehilangan arah. Angin tiba-tiba memapas dan hujan membuat tanah kering tumpas. Kerikil gersang basah oleh air langit. Bima berlari mencari naungan. Percuma, toh tetap basah. Karena langit seolah murka. Menumpahkan air dari permukaannya yang robek.

"Bang? Dari mana?"

Sebuah tanya membuat Bima menoleh. Nur, nyengir di hadapannya, hijab maroonnya sedikit basah oleh hujan. Bima tersenyum, menunjukkan sekantung plastik berloggo sebuah mini market. Cukup jawaban bahwa dia belanja dari sana.

Nur tersenyum, mengempit mapnya agar selamat dari terpaan hujan angin yang mengamuk. Berkecamuk rasa campur aduk saat dekat Bima begini.

"Kamu sendiri dari mana?"

Bima balik bertanya, menatap manik mata Nur. Ia tetap tidak siap di tikam sepasang mata elang itu. Tajam. Di hiasi sepasang alis yang rimbun teratur. Nur gelagapan. Baru menjawab.

🅳🅰🆈🅸🆃🅰 || Blood Is Thicker Than WaterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang