🌼 Follow akunku sebelum membaca!
🌼 Dilarang plagiat karena ide itu MAHAL!
🌼 Status cerita sudah end, jadi bisa marathon sampai akhir.
🌼 Jangan lupa vote dan komen saat membaca, agar Author tahu kalian benar-benar ada dan nyata.
Blurb :
Apa jadin...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Hari ini, Sahara akan kembali masuk sekolah. Sepertinya sudah cukup lima hari untuk berdiam diri di rumah. Meski sebenarnya gadis itu enggan lagi untuk sekolah, namun dengan berat hati harus ia lakukan karena tak ingin semakin mengecewakan orang tuanya.
Sahara menatap cermin gantung di kamarnya dengan pandangan yang kosong. Wajahnya terpampang di sana, tapi sorot matanya entah mengarah kemana.
Cermin di depannya seolah menampilkan kejadian paling mengerikan lima hari yang lalu. Pertama kali dalam hidupnya mendapat perlakuan seperti itu, dan rasanya menyakitkan.
Ternyata seperti ini, rasanya menjadi mereka yang selama ini selalu Sahara ganggu dan ia buat menangis.
"Gue harus kuat. Demi mama, papa, dan juga Ghafi. Lo pasti bisa, Ra. Pasti," ucapnya menyemangati diri sendiri.
Gadis itu menghembuskan nafas dengan kasar. Kemudian, tangannya meraih tote bag yang tergeletak di atas ranjang miliknya. Sebelum keluar, ia memeriksa penampilannya terlebih dahulu. Tangan kanannya terlihat membenahi rok cukup ketat yang panjangnya tidak sampai menjangkau lutut.
Setelah di rasa rapi, Sahara keluar kamar untuk menemui keluarganya yang sedang sarapan di ruang belakang dekat dapur.
Langkah kakinya terhenti, saat melihat keadaan meja makan yang menurutnya tidak layak pakai. Jika sebelumnya, meja makan di rumah megahnya terbuat dari kayu kokoh dengan kaca berukuran super tebal di atasnya, tapi tidak untuk kali ini.
Meja makan tua yang mulai usang dan lapuk. Berbentuk lingkaran yang tidak cukup besar dan hanya muat untuk empat atau lima orang saja. Benar-benar berbanding terbalik dengan meja makan di rumah lamanya.
"Kenapa berhenti disitu, Ra? Ayo makan," ajak sang ibu saat menyadari keberadaan Sahara.
Lamunan gadis itu seketika buyar saat suara Helen menerobos telinganya. Ia langsung menampilkan senyum yang terbilang palsu, lalu sedikit menyeka air matanya yang sudah hampir menetes.
Sahara berjalan pelan menghampiri keluarga kecilnya. Matanya memperhatikan sang ayah yang masih menampakkan raut sedih bercampur bingung.
"Pagi, Pa, Ma, Adek," sapa lembut Sahara kepada penghuni meja makan.
"Pagi juga Kakak cantik," sambung Ghafi, adik semata wayang Sahara.
Sahara mengelus puncak kepala Ghafi. Memperhatikan dengan detail raut wajah adiknya. Namun, Sahara sama sekali tidak menemukan rasa kecewa dan menyesal di mata Ghafi seperti halnya yang ia rasakan. Ghafi tetap terlihat ceria, seperti tidak terjadi apa-apa.
Sahara dan Ghafi memang saudara kandung. Tapi, sifat mereka sangat berbanding terbalik. Meski umur mereka hanya terpaut tiga tahun, untuk masalah pemikiran ternyata Ghafi masih jauh lebih unggul daripada Sahara.