"Gue cuma mau ngelukain hati lo, bukan fisik lo!"
S.A.M
Sagara tidak bisa tidur semalaman. Kepalanya terus saja memutar kejadian saat dirinya menampar Sahara dengan begitu kuatnya.
Pria itu merasa bersalah. Menyesal. Hatinya tidak terima ada darah yang keluar dari tubuh Sahara. Apalagi, darah itu di sebabkan olehnya.
"Gue benci lo! Tapi gue lebih benci ada darah yang keluar dari tubuh lo!"
Dia terus mengutuki diri seraya berkali-kali melampiaskan pukulan pada tembok tak bersalah yang justru menjadi saksi dari perbuatannya.
Kemarin malam, keduanya tidur di kamar terpisah karena Sahara tidak mengizinkan pria itu masuk. Hal tersebut yang membuat Sagara semakin tidak tenang. Berkali-kali ia meletakkan telinga di pintu kamar Sahara, hanya untuk memastikan tangisnya sudah berhenti atau belum.
Yang Sagara dengar hanyalah tangisan, tangisan, dan tangisan. Sahara menangis sepanjang malam, hal itu semakin membuat Sagara di hantui rasa bersalah yang berkepanjangan.
Pagi ini, lelaki itu memutuskan untuk kembali mengecek keadaan Sahara. Tidak terdengar suara apapun. Sahara mungkin masih tertidur karena menangis sepanjang malam.
"Ra."
"Sahara," panggilnya seraya mengetuk pintu kamar.
"Udah bangun, Ra? Gue buatin sarapan, ya?"
Bukan karena petir menyambar atau kepalanya terbentur batu besar, Sagara mengatakan itu dengan sadar. Ya, seratus persen sadar.
Kesalahannya, ia harus meminta maaf. Seharusnya, ia senang melihat Sahara terluka dan menangis seperti ini. Tapi, sudah ia katakan. Bukan luka seperti ini yang ia inginkan.
Segera ia menuju ke dapur untuk membuatkan sarapan. Lelaki itu akan membuat bubur untuk Sahara.
Usai bergelut cukup lama di dapur, Sagara akhirnya menyelesaikan ritual masaknya. Terlebih dahulu ia membersihkan dapur agar tidak berantakan.
Pria itu sudah menyajikan semangkuk bubur dan satu gelas susu di nampan. Ia meletakkannya di meja makan. Terlebih dahulu ia akan mengecek kembali keadaan Sahara.
Sudah ada di depan pintu, Sagara berulang kali mengetuk pintu untuk memanggil Sahara dari arah luar.
"Ra, keluar. Gue udah buatin bubur," ajaknya dengan lembut.
"Sahara."
"Ra."
Tak ada sahutan apapun meski berkali-kali ia memanggil gadis itu. Hatinya menjadi gusar. Ia penasaran apa yang sedang di lakukan gadis itu di dalam.
Tiba-tiba kepalanya teringat akan kunci cadangan yang ada di laci lemari. Ya, setiap pintu di ruangan itu memiliki kunci cadangannya. Sengaja di buat untuk berjaga-jaga jika kunci utama hilang atau rusak.
KAMU SEDANG MEMBACA
180° [END]
Подростковая литература🌼 Follow akunku sebelum membaca! 🌼 Dilarang plagiat karena ide itu MAHAL! 🌼 Status cerita sudah end, jadi bisa marathon sampai akhir. 🌼 Jangan lupa vote dan komen saat membaca, agar Author tahu kalian benar-benar ada dan nyata. Blurb : Apa jadin...