🌼 Follow akunku sebelum membaca!
🌼 Dilarang plagiat karena ide itu MAHAL!
🌼 Status cerita sudah end, jadi bisa marathon sampai akhir.
🌼 Jangan lupa vote dan komen saat membaca, agar Author tahu kalian benar-benar ada dan nyata.
Blurb :
Apa jadin...
Allo, malam ini aku up satu part dulu sebagai obat rindu bagi kalian yang kangen sama cerita ini hehe
Sebelumnya, makasiii atas 600 komentar di part sebelumnya. Aku tahu, cuma beberapa orang aja yang benar-benar antusias sama cerita ini dan bahkan rela spam begitu banyaknya karena penasaran sama kelanjutan cerita 180°.
It's oke, aku mengucapkan banyak terima kasih. Semoga kalian sehat selalu.
Jangan khawatir, aku tetap akan menepati janji untuk up beberapa part sekaligus sampai ending.
Happy Reading!
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Kalimat yang menerobos telinga Sagara seolah besi panas yang menghujam habis seluruh tubuhnya. Tangan, kaki, semua anggota tubuhnya melemas dan mati rasa. Lelaki itu berharap semua ini mimpi. Apa yang ia dengar barusan, Sagara berharap bahwa itu hanya halusinasi buruknya.
"Nggak mungkin! Saya mohon tolong lakukan pemeriksaan ulang, Dok. Saya yakin pasti ada kekeliruan. Apa yang akan terjadi sama Sahara kalau dia tahu ini semua? Saya nggak mau sesuatu yang buruk terjadi pada istri saya."
"Kami sudah berulang kali melakukan pemeriksaan, dan hasilnya tetap sama. Rahim Sahara harus segera di angkat. Jika tidak, nyawa Sahara akan menjadi taruhannya," jelas Dr. Henny.
"Arghh." Sagara mengacak rambutnya frustasi. Ia juga menggebrak meja cukup kuat hingga menimbulkan suara yang cukup keras.
"Saya tahu ini berat untuk kamu, apalagi Sahara. Saya berharap kamu bisa mengambil keputusan dengan benar," sambung Dr. Ratna mencoba memberikan pengertian pada Sagara.
Lelaki itu sontak meninggalkan ruangan, ia tidak ingin mendengar lebih lama lagi kalimat-kalimat menyakitkan yang meracau isi kepalanya. Langkah kakinya penuh kekacauan, seperti berjalan tanpa nyawa.
Sagara menangis. Ia mengeluarkan air mata kesakitannya. Ia sudah kehilangan calon anaknya, dan lagi ia harus mendengar kenyataan bahwa rahim Sahara harus di angkat. Gila. Lelaki itu tidak bisa membayangkan bagaimana hidup Sahara kedepannya.
"Kenapa, Tuhan? Kenapa? Kenapa teguran yang Engkau berikan begitu besar?"
"Hukum saya, saya yang paling bersalah disini. Kenapa Engkau melampiaskan semuanya kepada istri dan calon anak saya. Mereka tidak bersalah, Tuhan. Mereka tidak mengerti apa-apa."
Sagara berucap seolah tengah berhadapan dengan penciptanya. Dia memang bersalah. Dia sudah memberikan kesakitan yang begitu besar kepada Sahara. Tapi, kenapa Tuhan tidak menghukumnya? Mengapa Tuhan harus melibatkan istri dan calon anaknya?
"Maafin aku, Ra. Ini semua terjadi karena kebodohan aku. Anak kita, aku gagal menjaganya. Aku tidak tahu harus bagaimana mengatakannya kepada kamu. Kamu pasti akan syok dan terluka. Maaf, Ra."
Hidupnya yang hancur sekarang, harus ia ratapi di tengah sepinya toilet rumah sakit. Lelaki itu duduk termenung di salah satu bilik toilet. Tubuhnya terus berusaha menahan tangis, mulutnya bergetar hebat karena menahan air mata. Tidak sedikitpun terdengar suara, tapi air matanya yang luruh begitu luar biasa.