64. Go away, Ansel!

28 4 0
                                    

🌼

🌼

🌼

🌼

🌼

🌼

Happy Reading 😁

"Mbak, ntar ada pelanggan datang buat stoknya yang banyak ya!"

Aku baru sampai, letakin plastik yang isinya barang keperluan dapur. Langsung ambil apron di pantry dan kupakai.

Sarah gak bercanda waktu bilang mau bawa anak OSIS rapat acara akhir tahun di toko ibu. Aku buru-buru telpon pegawai toko buat nyiapin semuanya sampai harus beli stok juga.

Toko ibuku punya beberapa tempat yang bisa dibuat duduk. Konsepnya serupa cafe cuma gak banyak yang mau makan ditempat. Punya dua lantai dan lantai satu khusus etalase dan lebih dominasi dapur.

"Mbak lantai duanya di rapihin boleh? Biar Lea aja yang buat untuk varian barunya!"

"Iya, dek!"

Untuk varian baru hasil dari percobaan ku. Cuma iseng aja sebenarnya, benar-benar kubuat setengah sadar karena hari itu bertepatan sama hari dimana ibuku berangkat ke Singapura, hari dimana hatiku sedih sekali melihat orang yang disamping ibuku adalah orang lain, bukan aku bukan juga ayahku. Hari dimana juga aku terakhir komunikasi sama Yeonjun. Aku yang benar-benar niat banget mau melupakan perasaan ku.

Bisa dibilang membuat kue bentuk pelarian ku daripada harus mendekati nikotin itu lagi. Aku nyaris hilang arah dihari itu, terpikir sekali untuk satu hisapan. Tetap saja, itu buruk bukan?

Pop up pesan masuk, beruntungnya aku belum mulai apapun. Jadi bisa membuka handphone.

Sarah~

"ya' jam lima bisa kan? Sampai malam nih kayaknya."
"Mungkin gak sih yang gak ada jadi ada? Semacam minuman? Ntar aku bayar deh semuanya. Anggap aja tokomu jadi basecamp,"
"Bisa?"

"Oke!"

Setidaknya aku punya tiga jam waktu sebelum Sarah datang. Dan untuk sejenis cup cake jelas gak butuh waktu banyak.

Aku mulai nyiapin bahannya yang udah ditakar, tinggal di satuin aja jadi adonan buat terus di mix. Dan sejujurnya gak ada yang luar biasa dari kue yang ku punya. Masih hebat juga pegawai ibuku dan tentunya ibuku sendiri. Aku gak gitu mengerti soal pastry. Memasak juga hal yang menurut ayah dan ibu gak perlu lebih-lebih kan untuk tahu karena yang harus ku kejar itu pendidikan dokter bukan sejurusan tata boga yang akan memperhatikan detail penyajian makanan sampai peletakan sendok sekalipun.

Ugh, kadang aku bingung. Apa pantas aku iri sama orang yang bisa curahin semua perasaan nya kedalam sebuah karya? Misalnya saja master pastry yang setiap kali moodnya sedang tidak bagus bisa mencicipi manisnya glukosa dalam bentuk seni tangan sendiri? Siapa tidak bahagia kalau bisa menyulap terigu kering jadi cookies lucu berbentuk kelinci? Merasakan legitnya cokelat khas yang punya sensasi berbeda di setiap jenisnya. Sedang banyak banget orang yang ingin jadi dokter tapi gak bisa, aku disini malah mendamba hal lain.

"Lea, mau digantikan? Kayaknya dari tadi oven nya gak nyala tuh!"

"Oh? Masa sih?"

Aku mastiin didepanku, Cup-nya udah terisi tapi ovennya jangankan panas menyala saja belum. Udah dua puluh menit lebih waktu kuhabiskan untuk satu adonan.

"Hehe, boleh deh mbak. Biar Lea buat topingnya. Urgent banget ini, harus cepat!"

"Iya Lea. Kalau butuh bantuan lain bilang juga!"

How Feels? || Choi Yeonjun ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang