9. Become Her Friend

376 60 10
                                    

Jangan lupa vote dan comment. Tolong bantu cek typo juga ya.

Follow juga akun wattpadku.

💗💗💗





"Kak Vio!" teriak Darwin memanggil Violyn yang telah selesai mengajar anak-anak panti.

Violyn terperanjat kaget melihat Alfa berdiri di belakang Darwin. Ingin sembunyi, tapi percuma. Alfa sudah melihatnya.

"Hai, Vio. Ketemu lagi, deh," sapa Alfa. Sementara Violyn malah kicep.

Alfa terkekeh melihat ekspresi kikuk Violyn. Gadis itu tampak sangat berbeda dengan yang di sekolah. Biasanya di sekolah Violyn sangat memperhatikan penampilan seperti princess, pakai barang-barang branded dan congkaknya minta ampun. Kalau di sini Violyn terlihat lebih sederhana. Gadis itu hanya memakai blouse dilapisi outer, celana jeans dan sneakers. Rambutnya juga hanya dicepol asal-asalan. Pokoknya tidak menampakkan anak sultan sama sekali.

“Kaget ya ketemu gue?” desis Alfa lagi.

Darwin menoleh ke Alfa dan Violyn secara bergantian. “Kalian saling kenal?”

Alfa mengangguk. “Kami satu sekolah.”

“Kak Alfa anak Cakra Buana?” tanya Darwin lagi.

“Iya. Kakak sama Violyn malah satu kelas olimpiade.”

“Wow, dunia makin sempit aja, ya.”

Sedari tadi Alfa yang lebih banyak menjawab pertanyaan Darwin. Sementara Violyn memilih untuk lebih banyak diam. Segerombolan anak kecil tiba-tiba menyerbu mereka minta diajari mewarnai. Ketiganya akhirnya menyibukkan diri bersama anak-anak kecil itu. Alfa masih melirik-lirik Violyn yang sedang asyik mengajari anak-anak mewarnai. Cewek itu sangat sabar dan telaten membimbing para bocah kecil. Demi Tuhan, aura Violyn di sekolah dan di tempat ini sangat berbeda. Di sekolah dia tak lebih dari sosok perempuan yang kesurupan Lucifer, tapi kalau di sini, sepertinya Violyn kesurupan malaikat.

“Kak, naksir?” tanya Darwin tiba-tiba.
 
"Hah, apa?”

“Naksir Kak Vio? Dari tadi ngelihatin dia mulu.”

Alfa terkekeh. “Kamu tahu nggak? Dia tuh kalau di sini beda banget sama di sekolah.”
   
“Emang kalau di sini gimana?”

"Lebih mempesona,” jawab Alfa singkat. Darwin semakin semangat mengomporinya.

“Gaskeun, Kak. Mumpung Kak Vio lagi jomblo juga.”

“Kok kamu tahu?”

“Tahu, dong. Kak Vio tuh kerjaan cuman belajar dan belajar. Bayangin tiap hari dia belajar lebih dari 10 jam. Lesnya di mana-mana,” jelas Darwin.
   
“Lebih dari 10 jam?”

“Iya, Kak. Dia kan ambis mau masuk FK UI. Makanya tahun ini dia pengen banget bisa dapetin medali emas GSO.”

“Medali emas GSO. Kamu tahu juga?” tanya Alfa penasaran.

Darwin mengangguk. “Dari kecil aku udah digadang-gadang buat dapetin medali emas GSO juga, Kak. Makanya tahu.”

Alfa berjongkok di depan kursi roda Darwin. “Kamu bakal dapetin itu suatu saat nanti,” hiburnya menyemangati.

Darwin langsung menggeleng. “No, nggak akan bisa. Aku nggak sekuat dulu, Kak. Buat gerak aja susah.”

“Kok udah nethink duluan, sih.”

“Buat bisa masuk GSO kan harus mewakili sekolah. Aku anak homeschooling mana bisa, Kak. Lagian aku sekarang nggak ambisi banget sama kompetisi gituan. Aku lebih berharap bisa bertahan hidup lebih lama.” Ada cairan bening yang menggantung di pelupuk mata Darwin. “Aku cuma pengen bahagia dan berdamai dengan keadaan aku yang kayak gini.”

Extraordinary MendelianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang