53. Apakah Harus Berhenti?

200 24 1
                                    

Holaaa!!!

Aku update, nih. Ada yang nungguin cerita ini nggak?

Jangan lupa vote dan komen!

Follow aku wattpadku juga, ya!

Happy reading...

🍒🍒🍒








Reynald termenung sendirian di balkon kamarnya. Seperti biasanya. Dia hanya ingin menikmati similir angin malam, aroma tanah basah selepas hujan dan secangkir cokelat hangat buatan Dhea. Tidak ada hal menarik yang bisa dikerjakannya malam ini. Belajar pun juga bukan pilihan yang tepat di tengah batinnya yang berkecamuk. Ini jelas karena keputusannya yang akan melepaskan diri dari sang ayah. Mungkin Reynald juga akan berpisah dengan Dhea. Keputusan Reynald untuk membongkar kebusukan sang ayah tentu akan berimbas ke banyak orang. Termasuk orang-orang yang dipekerjakan di rumah ini. Jika Johan dipenjara, semua orang di sini akan kehilangan pekerjaannya. Dan Reynald tidak tahu harus ke mana. Dia tidak punya siapa-siapa untuk dijadikan tempat sandaran. 

"Lo mau sampe kapan di sini terus? Lo ada masalah apa, sih?" tanya Dhea yang baru saja datang untuk mengantarkan camilan. Gadis itu membawa sebuah stoples berisi cookies. 

"Lo ngapain ke sini lagi?" sewot Reynald. Reynald hanya tidak ingin Dhea tahu apa yang disembunyikannya. 

Dhea menyeringai tipis di depan majikannya. "Nganterin camilan buat lo. Lo nggak mau turun waktu Pak Johan ngajak makan bareng. Ya pasti lo masih laper meski udah minum cokelat."

Reynald mendaratkan bokongnya di bangku panjang. Tepat di sebelah Dhea. Helaan napas terdengar pelan. Beban di pundak Reynald begitu berat. 

"Kebiasaan banget nggak mau cerita kalau nggak gue paksa."

"Please. Jangan tanyain itu dulu. Gue belum siap cerita ke lo. Gue masih bisa ngatasin masalah gue, kok."

Dhea menepuk pundak sebelah Reynald. "Oke. Gue percaya. Lo harus baik-baik aja. Janji, ya?"

"Iya, Dhe. Gue janji," sahut Reynald disertai anggukan. 

***

Hidup adalah pilihan. Mencoba untuk tetap bertahan atau justru mengakhiri semuanya. Violyn kira dengan memilih jalan mengakhiri hidupnya, masalahnya akan selesai. Violyn salah besar. Tuhan rupanya punya kehendak lain. Tuhan masih membiarkannya hidup hingga detik ini. Iya, Violyn sudah sadarkan diri. Orang yang pertama kali bahagia saat Violyn bangun adalah Wisnu dan Lydina. Ayah dan adiknya itulah keluarga yang bisa dipercayainya saat ini. 

Violyn kini sudah dipindah ke ruang rawat biasa setelah kondisinya berangsur membaik. Lydina senantiasa menemani Violyn hingga rela izin tidak masuk sekolah hari ini. Gadis remaja SMP itu duduk di sofa sambil main game. Kegiatan Violyn saat ini hanya menatap Lydina lama. Kadang dia berpikir, mengapa dia tidak seberani sang adik? Lydina sedari kecil selalu dijuluki anak pembangkang karena sering tidak mempedulikan perintah nenek dan ibunya. Dia bukan anak penurut seperti Violyn yang dulu. Lydina sedari kecil selalu menentang apa yang tidak sesuai dengan pemikirannya. Karena keberanian Lydina itulah, dia bisa hidup lebih bebas. Lydina yang tidak terlalu disayang neneknya justru bahagia dengan hidupnya itu. Karena dengan caranya itulah dia bisa menjadi dirinya sendiri. Lydina bisa bebas bermain game tanpa dituntut untuk belajar sepanjang hari seperti Violyn. Lydina tidak pernah dituntut menjadi bayang-bayang orang lain. 

"Kenapa, Kak? Butuh sesuatu?" tanya Lydina ketika sadar bahwa Violyn mengamatinya. 

"Enggak," lirih Violyn. "Kalau kamu bosen nungguin kakak, kamu pulang aja."

Extraordinary MendelianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang