12. Being A Crazy

324 51 2
                                    

Halooo, aku update!

Maaf kalau lama nggak update. Aku sekarang nggak bisa nulis cerita lebih dari satu dalam waktu yang bersamaan. Kebetulan ceritaku yang satunya lagi rame. Jadi, aku lebih fokus di cerita satunya. Tapi aku berharap cerita ini juga bakal rame suatu saat nanti.



Happy reading...



Lama nggak ketemu sama Violyn, ya.

Lama nggak ketemu sama Violyn, ya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.









Plakkk!

Suara tamparan keras itu mendarat di pipi Reynald. Rasa sakitnya lebih perih daripada lebam yang didapatkannya dari hasil adu bogem dengan murid SMA lain tadi. Ini bukan pertama kalinya Reynald harus berurusan dengan polisi karena perkelahian, tawuran atau pun balap liar. Sama seperti Violyn, kehidupan Reynald di dalam dan di luar sekolah sangat kontras. Bedanya Violyn menjadi ibu peri di lu sekolah meski di dalam sekolah dia sering disebut titisan Lucifer. Sementara Reynald yang dianggap best boy di dalam sekolah, sebenarnya dia tak lebih dari seorang bad boy di luar sekolah.

Semenjak hidupnya terasa kosong, Reynald memilih mengisi bagian yang kosong itu dengan tantangan yang membuat adrenalinnya senantiasa terpompa. Tawuran, balapan dan adu bogem adalah pelampiasannya dari rasa semua kepahitan yang dipendamnya sendirian.

"Kurang ajar kamu! Sudah berkali-kali Papa bilang jangan berantem lagi. Jangan berurusan sama polisi lagi. Tapi kamu masih saja sama. Kamu mau jadi apa Reynald?" gertak Johan kepada anak semata wayangnya.

Tidak ada jawaban. Reynald memilih untuk diam sembari menikmati sensasi panas dari tamparan yang dilayangkan sang papa.

"Jawab, Reynald! sentak Johan sekali lagi. "Kamu mau jadi apa kalau berantem mulu kayak gini? Kamu mau mempermalukan papa? Kamu mau merusak reputasi papa di dunia politik? Harus berapa kali lagi papa membayar media buat nggak nyebarin berita tentang kamu yang digelandang polisi?"

"Pa, aku menang lomba essay tingkat nasional," kata Reynald tanpa menjawab pertanyaan Johan.

Kini gantian Johan yang tak bergeming. Pria paruh baya itu memijit pelipisnya pelan. Merasakan nyeri dahsyat yang menyerang kepalanya secara mendadak.

"Papa nggak mau ngasih selamat buat aku?" tanya Reynald seraya menunggu Handi kembali buka suara. Mata Reynald dibalik kaca mata minusnya itu menatap sang papa tajam. "Papa tenang aja. Usaha Papa menyuap media buat nggak nyebarin berita buruk tentang aku nggak sia-sia. Mereka malah bikin berita tentang anaknya Johan Wirayaka, ketua DPR berhasil menjadi juara 1 lomba essay nasional."

Johan masih enggan berbicara lagi. Pria itu meninggalkan Reynald yang masih berdiri tegak di ruang tengah. Tidak ada adegan manis seperti di sinetron antara ayah dan anak. Karena adegan itu sudah berakhir semenjak ibunya Reynald memilih pergi mengejar impiannya.

Extraordinary MendelianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang