40. Uang Teh

211 33 6
                                    

Holaaa!!!

Ada yang nungguin aku update nggak?

Semoga masih setia mengikuti cerita ini ya.

Jangan lupa follow, vote dan komen!


Happy reading!!!


🍊🍊🍊







Sebuah teori mengatakan bahwa energi tidak dapat diciptakan dan tidak dapat dimusnahkan. Catat baik-baik! Tidak dapat dimusnahkan. Hal ini sebanarnya sama seperti sebuah kebenaran. Para ilmuwan juga mengatakan bahwa kebenaran tidak dapat dimusnahkan, sekali pun dengan api maupun air. Violyn sekarang menyadari hal itu. Mau disembunyikan dalam bentuk apa pun dan di mana pun, kebenaran tentang hubungan kedua orang tuanya yang tidak harmonis pasti akan terkuak juga. Jejak-jejak masa lalu dalam kisah cinta tak sempurna antara papa dan mamanya tidak dapat dihilangkan begitu saja di masa depan. Violyn sudah tahu tentang kebenaran bahwa dirinya dan adiknya ada di dunia ini bukan karena cinta dua insan manusia. Tapi, lebih karena tuntutan orang-orang di sekitar. Violyn sekarang tahu, dirinya bukanlah anak yang diharapkan. Ini sangat menyakitkan.

Mood Violyn sangat berantakan pagi ini. Apalagi di meja sarapan nanti dia akan bertemu dengan kedua orang tuanya. Sebelum Violyn tahu kebenaran tersebut, suasana meja ruang makan tidak pernah seistimewa keluarga lainnya. Setiap ada momen sarapan bersama, keempat anggota keluarga tidak pernah mengobrol banyak hal. Mereka tidak seperti keluarga lainnya yang berbagi kehangatan dan kasih sayang di meja makan. Mereka lebih banyak diam dengan ego masing-masing. Seperti halnya sarapan pagi ini. 

“Pagi,” sapa Violyn singkat tanpa seulas senyum pun di bibirnya.

“Pagi juga, Kak.” Itu Lydina yang menyahutinya. Sementara Wisnu sibuk dengan koran paginya dan Nisrina hanya membisu sambil mengunyah roti tawar selai cokelat.

Violyn langsung mencomot roti tawar selai cokelat tanpa melirik Nisrina yang duduk di samping Lydina. Pertama kali datang ke ruang makan Violyn sudah bisa menangkap wajah tak mengenakkan sang ibu. Jika Violyn bersuara barang sedikit pun, dia sudah bisa menebak apa yang akan terjadi. Nisrina pasti akan meledak-ledak karena peringkatnya hanya stuck di position kedua.

“Aku berangkat duluan,” pamit Violyn setelah meneguk setengah gelas susu rasa vanilanya.

“Aku ikut, Kak. Bareng sekalian.” Lydina juga tidak melanjutkan sarapannya sampai selesai. Padahal roti tawarnya masih belum habis.

Violyn membiarkan Lydina ikut di mobil yang mengantarkannya. Hari ini sopir keluarga mereka tidak akan akan mengantar kakak beradik itu. Violyn memang selalu berangkat lebih pagi daripada Lydina jika anak itu pulang ke rumah. Sehingga Lydina lebih sering diantar Nisrina daripada sopirnya ke asrama. Sekarang mereka sama-sama duduk di belakang.

“Tumben bareng kakak?” tanya Violyn begitu mereka masuk ke dalam mobil.

“Males dianterin Mama.” Lydina tiba-tiba menunjukkan lebam di tangannya. “Kemarin Mama mukulin aku gara-gara ngebelain kakak.”

“Hah, apa?”

“Sore kemarin Mama ngamuk gara-gara peringkat Kakak nggak bisa naik ke peringkat 1. Terus aku jadi sasaran kemarahannya. Abis ngamuk-ngamuk Mama keluar. Dini hari sekitar jam 2 pas Kakak udah tidur, Mama baru pulang. Aku tahu pas mau ngambil minum bentar ke bawah,” curhat Lydina membuat Violyn geram sendiri dengan kelakuan ibunya. Violyn hanya bisa menghela napas panjang. Menghadapi sang ibu memang butuh kesabaran ekstra.

"Maaf, ya. Gara-gara kakak, kamu jadi kena sasaran amukan Mama."

"Aku udah maafin, Kak. Lagian watak Mama emang kayak gitu. Makanya aku nggak betah di rumah."

Extraordinary MendelianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang