"Ibu.... bangunlah, pagi sudah ni. Along sudah kasi siap sarapan tu." Kata Anis seraya menyingsing langsing yang ada di bilik itu supaya sinar mentari masuk ke dalam. Tiada sahutan buatkan Anis menghampiri si ibu dengan senyuman.
"Amboi... ibu ni ndak pernah-pernah bangun lambat." Sengih Anis seraya duduk di birai katil. Berkali-kali dikejutkan tapi tiada respon buatkan Anis merasakan debaran jantungnya terdegup tak menentu.
"Ibu... jangan kasih takut angah..." Melihat tiada gerakan penafasan buatkan Anis merasa dunianya terhenti seketika. Perlahan dia menggelengkan kepala dan tangannya mulai menggoyangkan tubuh si ibu yang kaku.
"Ibu.... ibu... bangun bu.... Jangan buat angah macam ni." Jerit Anis. Tubuh kaku itu dipeluknya erat, Ayda yang mendengar suara tangisan si adik buatkannya berlari masuk ke bilik.
"Angah... kenapa ni?" Soal Ayda yang menghampiri.
"Ibu.... ibu... ndak... mau bangun...." Anis langsung tak berganjak di situ, untuk bangun saja dia tak mampu. Ayda terduduk di lantai bilik itu, Akif dan Syafiq yang mendengar terus menghampiri mereka. Syafiq memeriksa nadi ibu dan perlahan dia menggeleng. Wajah Anis yang menatapnya penuh pengharapan ibunya baik-baik saja. Wajah itu sekali lagi dibasahi air mata.
"Ndak... Ibu cuma pengsan ja. Along, jom bawa ibu pergi hospital." Katanya dengan tangisannya yang sudah tiada tanda berhenti. Ayda yang terduduk menghampiri jenazah si ibu, dipeluknya tubuh kaku itu dan menangis semahunya begitu juga Akif.
"Kenapa kamu menangis ni. Ibu pengsan ja, cepatlah kita hantar pergi hospital." Kata Anis dengan air mata yang berkali-kali di seka tapi tak kunjung berhenti.
"Along.... cepatlah...." Suaranya tenggelam timbul.
"Ibu ndak ada sudah ngah, ibu tinggalkan kita sudah." Kata Ayda yang lencun dengan air mata. Menggeleng laju dia dibuatnya.
"Ndakk... Ibu.. ibu... bangun bu... Dorang tipu kan bu." Rintih Anis sambil mengenggam jemari yang sudah sejuk itu.
"Syafiqqq... kau percaya kan aku kan, ibu masih ada kan." Syafiq yang melihat turut sama terseksa lagi-lagi melihat keadaan Anis seperti itu.
"Kau pun sama pembohong.... tepi.... ibu... kita pergi hospital ya." Pekik Anis menolak tubuh kedua adik beradiknya. Dia mula berbisik di telinga si ibu. Melihat Anis seakan hilang kewarasan akal membuat Syafiq menariknya keluar dari bilik itu. Anis menepis tapi pegangan Syafiq lebih kuat dari tenaganya yang semakin melemah.
"Jangan macam ni, please..." Pujuk Syafiq yang menongkat lutut sambil memegang tangan Anis yang dipaksa duduk di sofa ruang tamu.
"Ibu.... Ibu..." Hanya itu yang mampu dia ungkapkan. Wajah Syafiq mulai kabur dipandangannya kerna air mata memenuhi bola mata saat ini. Perlahan di tariknya Anis ke dalam dakapan.
Air matanya tak mampu untuk dihentikan walaupun dia sudah penat menangis, dia sudah kehilangan sosok seorang ayah dan kini ibunya pula pergi meninggalkannya buat selama-lamanya. Tiada lagi penyemangat hidupnya selepas ni!
"Kenapaa... Kenapa... dorang... tinggalkan... aku..." Ucapan yang tersekat-sekat di balik wajah yang bersandar di dada bidang Syafiq. Dia hanya mampu menepuk lembut sambil mengelus belakang Anis.
"Kenapa... semua... orang tinggalkan aku... Irah... kau... ayah... sekarang ibu..." Katanya diselang dengan tangisan.
"Tak.. I tak tinggalkan you. I akan ada untuk you, i janji." Pujuk Syafiq. Diam, tiada sahutan dan ternyata....
Bila dia tersedar, dirinya yang tengah berbaring di katil milik ibunya. Dia menghela nafas panjang, bersyukur semuanya hanya mimpi, dia membetulkan tudungnya dan melangkah ke luar.
"Ibu...." Panggilnya. Tatkala keluar dari bilik, matanya bertemu dengan beberapa warga kampung. Senyumnya tiba-tiba mati bahkan dia bingung.
"Ibu...." Panggilnya lagi. Ruang tamu yang sudah dipenuhi warga kampung dan terlihat ada tubuh kaku yang berbaring di tengah ruangan itu. Semua mata memandang ke arahnya, dunianya seakan gelap saat itu. Lututnya yang melemah perlahan jatuh terduduk sambil matanya tak lepas dari memandang wajah kaku itu.
Ternyata semuanya bukan mimpi! Ternyata benar, ibu sudah meninggalkannya! Ayda perlahan menghampiri si adik, dirangkulnya dan di bawa berdiri.
"Kita tolong ibu pergi dengan tenang ya." Bisik Ayda. Air mata Anis merembas keluar, deras bagaikan air sungai. Berpelukan kedua adik beradiknya itu, hal itu meruntun hati yang melihat. Zia dan Isya turut sama merasa kehilangan menghampiri mereka.
Seakan tersedar dari ketidakwarasannya, diseka air matanya kasar dan dihampiri jenazah si ibu. Tak berganjak sedikit pun kakinya menjauh dari jenazah si ibu sampailah ke tempat persemadian terakhir ibu.
Anis bagaikan dengan dunianya sendiri, duduk termangu di tanah merah itu. Iya, ibu ayah dimakamkan bersebelahan. Semua sudah pamit pergi dan Anis berdegil untuk tetap ada di situ. Sejam berlalu, ibu dikebumikan dan Anis masih di situ. Syafiq setia menantinya di pondok yang tak jauh dari makam kedua orang tua Anis.
Tangisan tanpa suara, hanya menggenggam tanah yang menimbun jenazah kedua orang tuanya. Hujan mulai turun dan tak sedikitpun dia berganjak. Syafiq menghampiri, untuk membawanya pulang.
"Aku mau kasi kawan ibu sama ayah... Nanti dorang sejuk, kesian dorang...." Ucap Anis dengan senyum nipisnya.
"Kita balik dulu, i janji i akan bawa you ke sini lagi." Pujuk Syafiq. Menggeleng Anis, tak setuju.
"Kesian anak-anak kat rumah, nangis cari you." Kata Syafiq lagi. Anis menatapnya, melihat anggukan dari lelaki itu buatkannya perlahan lahan bangun dan ikut balik.
"Ibu... Ayah... Nanti angah datang ya. Angah pergi tengok anak-anak kejap." Ucapnya ketika berhenti melangkah dan menoleh sekejap ke belakang. Syafiq tak sedikitpun melepaskan rangkulan di bahu Anis. Janjinya takkan pernah membiarkan Anis sendiri! Dia akan ada untuk gadis itu!
YOU ARE READING
My First Love✅
FantasyKehidupan setiap insan tak semuanya berawal dengan indah begitu juga sebaliknya. Tiap manusia pasti diuji dengan pelbagai jenis ujian sama ada kau menyerah sebelum berjuang atau kau berjuang dan menang. Gadis Sabah, seorang gadis sederhana yang deg...