9

160 4 2
                                    

"Irah... Kau okay jua kah ni?" Tanya Anis prihatin tatkala melihat wajah Irah yang sugul mungkin masih mengantuk lagi. Anis menghulurkan milo panas dan menyendokkan nasi goreng ke pinggan sahabatnya.

"Hmm...okay." Dia tahu Irah hanya senyum dibuat-buat. Takpa lah tiba masanya pasti dia akan bercerita.

"Makanlah cepat, kejap lagi mau pigi keja suda kan." Kata Anis yang cuba memeriahkan suasana. Sebenarnya dari kemarin dia perhati Irah yang bersikap lain macam. Dia lebih memilih memerap di dalam bilik, bila di tanya katanya senggugut. Sampaikan makan pun, kalau Anis tak hantar masuk dalam bilik dan paksa dia makan memang puasa agaknya Irah kelmarin.

Anis bangun dari duduknya dan berpindah ke samping Irah. Sejak dari tadi sahabatnya hanya menguis saja nasi di pinggan langsung tak dijamah pun.

"Rah.... Aku ndak tau apa masalahmu, seberat apa masalah yang kau ada sekarang. Aku cuma mau bagitahu kau, aku ada di sini. Kalau kau mau cerita aku sudi dengar." Pujuk Anis. Irah tersentak, sahabatnya seperti dapat membaca air mukanya yang penuh dengan masalah. Dilepasnya sudu yang sejak dari tadi dipegang lalu dia menunduk memandang jemarinya, dia malu untuk memandang Anis. Perlahan air matanya mengalir, dan mulai kedengaran esakan kecil.

Anis terkejut tanpa banyak tanya, ditariknya Irah ke dalam pelukan, ditepuk lembut belakangnya untuk memberi semangat. Semakin kuat tangisan Irah kedengaran dan Anis masih seperti tadi cuba untuk menenangkannya tanpa satu patah kata terucap.

Setelah sedikit tenang, Irah meleraikan pelukan. Wajahnya masih menunduk memandang lantai.

"Kau tau kan Allah ndak pernah meletakkan ujian melebihi kemampuan hambaNya." Pesan Anis seraya mengusap air mata di pipinya.

"Aku tak kuat..." Kata Irah lemah. Antara dengar dengan tak. Dia buntu dia mahu menceritakan peristiwa hitam itu tapi dia malu!

"Minta pada Allah. Aku ndak dapat bagi kau kekuatan, tapi Allah boleh. Allah ndak pernah tinggalkan kita. Allah uji kita sebab Allah sayang, Allah rindu kita." Pesan Anis lagi.

"Aku... Akuu... Banyak buat dosa." Kata Irah dengan suara sedunya.

"Kita semua ni pendosa cuma Allah simpan aib kita masing-masing. Sebaik-baik pendosa adalah yang ingin bertaubat dan meminta ampun pada sang penciptaNya." Dengan  tenang dia mencapai jemari si sahabat dan ditepuk lembut.

"Ndak payah sedih. Allah selalu ada untuk kita." Kata Anis lagi. Irah mengangguk seraya meminta diri ke tandas, membersihkan wajahnya.

Seusai sudah, keduanya berangkat ke tempat kerja. Setengah jam mereka sampai ke tempat yang di tuju, Anis sedikit terpegun melihat keluasan kedai bunga yang menjadi tempat dia bakal mencari rezeki.

"Kau kenapa tercegat kat sini?" Irah segera menghempuk bahu sahabatnya dengan beg sandang. Dia sudah sedikit lega selepas menangis tadi. Dia perlu kembali seperti biasa walaupun saat ini matanya masih terlihat sembam.

"Sakit bongok..." Marah Anis sambil mengosok bahunya yang sengal di hempuk oleh sahabat sendiri. Kejam bukan.

"Siapa suruh. Kau datang sini jadi pekerja bukan jadi patung cendana depan kedai." Bebel Irah lalu mengheret sahabatnya masuk.

"Assalamualaikum Kak Zah." Sapa Irah setelah masuk ke dalam kedai bunga itu.

"Waalaikumussalam... Aik rajin Irah datang awal harini." Usik Kak Zah.

"Amboi kak. Perli nampak." Kata Irah.

"Terasa ke? Tak ehh akak tak perli pun." Kata Kak Zah sambil tertawa.

"Ni ha budak ni takut lambat sampai. Takut kena marah boss katanya." Bebel Irah sambil memandang ke arah sahabatnya.

"Ohh ni lah budak baru tu erk?" Tanya Kak Zah. Irah hanya mengangguk saja.

My First Love✅Where stories live. Discover now