BAB 47

2.2K 86 0
                                    

Sakti dan Luna berada di parkiran. Mereka hendak pulang, dan sebelum pulang Sakti sudah memberitahu Luna jika dia ingin mengajaknya makan siang di rumah. Kia katanya rindu Luna, sangat rindu. Sakti harus membawa Luna pulang demi Mamihnya.

"Kamu gak apa-apa kan mampir ke rumah aku dulu?" Sakti bertanya sambil memakaikan helm ke kepala Luna. Gadis itu langsung mengangguk matang. "Enggak apa-apa, Luna malahan senang, Luna juga rindu sama Bunda."

Sakti terkekeh dan mengangguk. "Ayo kita jalan."

Luna mengangguk dan langsung menaiki motor Sakti. Di perjalanan, Sakti memelankan laju motornya. Dia ingin lebih menikmati waktu berdua dengan Luna, walaupun itu hanya berdua di atas motor sekalipun seperti saat ini. Sakti sangat beryukur, karena bisa mengenal Luna, walau masa lalunya tidak begitu baik dengan gadia ini, tapi untunglah perasaan cinta mampu mengubah semuanya. Sakti bahagia.

"Sakti, awan hitamnya menggumpal, pasti akan turun hujan," ucap Luna pada Sakti.

Sakti menengadah. Benar juga, awan hitam sudah menggumpal, dan itu artinya hujan akan segera turun. Bagaimana ini? Sakti tidak ingin membuat Luna sakit karena kehujanan.

Djrs...

Tidak perlu menunggu waktu lama, hujan tiba-tiba datang tanpa adanya jeda terlebih dahulu. Sakti dan Luna sempat kaget dengan itu. Motor Sakti berbelok ke arah tepi jalan. Mereka segera turun dan berlari ke arah pohon rindang di tepian jalan itu. Sakti segera melepas jacket, dia melampirkan jacket di atas kepala mereka. Jacketnya tahan air, cukup.bisa menahan air untuk tidak membasahi kepala mereka walau bagian pakaian lainnya masih terkrna cipratan air hujan. Sakti dan Luna tertawa dengan kondisi saat ini.

"Baru juga diomongin, hujannya langsung turun aja," kata Sakti.

Luna setuju. "Hujannya peka kaya kamu." Luna tertawa.

"Hah, gimana-gimana?" Sakti sepertinya tidak cukup paham.

"Iya peka. Luna kalo dalam bahaya selalu sebut nama Sakti dalam hati, dan Sakti selalu cepat datang menolong Luna," lirih Luna pelan.

Sakti tersenyum. "Itu artinya, Tuhan baik sama kita Luna."

Luna mengangguk. "Iya, Tuhan baik sama kita." Tapi ini tidak berlangsung lama untuk kita monolog Luna dalam hatinya.

Suasana tergantikan sunyi. Mereka sama-sama terdiam. Sekarang hanya air hujan yang mereka dengar. Jacket itu menutupi pandangan mata mereka ke jalan. Tidak terdengar kendaraan lain yang melintas, sepertinya pengendara lain melakukan hal yang sama seperti Luna dan Sakti, yaitu berteduh di tempat aman untuk menunggu hujan reda. Sakti menatap lurus mata Luna. Jarak keduanya sangat dekat. Bahkan hembusan napas bisa terasa oleh keduanya. Sakti melepas cengkraman tangan kiri dari jacket. Beralih mencengkram pinggang ramping Luna agar mendekat ke arahnya. Tentu saja hal itu membuat degupan jantung Luna beritme lebih cepat dari sebelumnya. Wajahnya bahkan sedikit tegang. "Dingin, jangan jauh-jauh." Sakti berkata demikian untuk menghilangkan rasa canggung keduanya. Luna hanya mengangguk.

Sakti masih memandang wajah Luna. Demikian sebaliknya, Luna balas menatap wajah Sakti. Dalam kondisi seperti ini, pikiran dan hati selalu berontak, tidak ada yang bisa berpikir sehat saat cuaca dingin seperti ini. Sakti beralih menatap bibir pink milik Luna. Perlahan Sakti mendekatkan wajahnya semakin dekat dengan wajah Luna. Wanita itu sedikit gugup dengan jarak sedekat ini dengan Sakti. Luna menahan napas saat wajah Sakti semakin mendekat dengannya. Sakti tersenyum, semakin memperdalam tatapan itu. Waktu berhenti, terasa berhenti di antara keduanya. Luna rasanya seolah sedang berada di alam mimpi. Sedikit tidak percaya dengan apa yang sekarang sedang terjadi. Biarkan ini menjadi sejarah keduanya.

*
*
*
*
*

"Ya ampun, kalian basah kuyup kayak gini! Kenapa gak neduh dulu?" Kia sungguh kaget melihat kondisi Sakti maupun Luna. Keduanya pulang dalam keadaan basa kuyup. Semuanya basah.

Luna Areva | Selesai✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang